Rabu, 16 Juli 2008

Budaya Konvoi Dan Coret-Coret, Untuk Apa?

Duh, senang sekali hati saat mengetahui telah lulus dalam mengikuti ujian nasional. Rasanya segala beban yang menghimpit hati sirna begitu saja. Bongkahan bebatuan yang sejak persiapan, pelaksanaan danpasca ujian nasional terdepak oleh kabar kelulusan yang dapat diperoleh dari sekolah atau dari internet.

Dan, setiap kemenangan memang pantas untuk dirayakan. Keberhasilan atau kelulusan adalah sebuah kemenangan melawan sekian banyak soal ujian, maka sudah selayaknya jika dirayakan sebagai ungkapan kegembiraan dan kebahagiaan.

Tetapi, permasalahan timbul saat kita melihat model perayaan kegembiraan yang diungkapkan oleh anak-anak kita. Mereka seakan bukan anak-anak kita yang kemarin begitu manis saat kita berada di ruang kelas mereka dan menjelaskan materi pelajaran yan menjadi jatah belajar mereka.

Tiba-tiba saja mereka telah berganti tampilan sangat berlainan dengan kesehariannya. Mereka telah menjadi orang lain. Para guru sudah tidak mengenal pribadi masing-masing.

Wajah manis, imut-imut, pola berpakaian yang rapi dan bagus, semua telah hilang! Bahkan sopan santun yang selama ini tlah kita tanamkan selama mereka belajar sejak kelas satu hingga kelas tiga sudah hilang!

Yang muncul adalah sikap yang amburadul. Model rambut yang awut-awutan, baju yang penuh coret-coret, tanda tangan, bahkan wajah dan rambutnya tidak lepas dari semprotan cat dengan warna warni yang semarak. Baju yang sebenarnya masih bagus, tiba-tiba saja telah menjadi baju penuh semprotan cat dan torehan tinta spidol dengan berbagai macam tulisan atau tanda tangan

Mereka begitu gembira. Mereka bersemangat. Bahkan sepeda motor, mereka berkonvoi keliling kota, memenuhi jalan raya, tentunya mengganggu pengguna jalan yang lain. Lalu lintas-pun menjadi macet. Semua tidak berdaya. Bahkan tidak jarang orang berpendapat hal tersebut wajar saja, kan cumin sekali dalam setahun!

Suara ‘geberan’ gas dan sikap mereka pada saat mengendarai motor sungguh sangat ‘nggegirisi’, menakutkan dan mengkawatirkan bagi keselamatan diri sendiri ataupun keselamatan orang lain.

Dan, seringkali kegiatan ini ternyata memakan korban dari mereka juga. Berapa banyak mereka yang termakan oleh ‘keberanian’ mereka ‘beraksi’ di jalan raya untuk mengungkapkan kegembiraan karena lulus.

Tapi masalahnya adalah signifikansi model perayaan seperti itu dengan budaya bangsa ini. Apakah hal ini menggambarkan terjadinya pergeseran nilai pola kehidupan bangsa ini? Bukankah yang melakukan ‘atraksi’ ini adalah kaum muda, generasi muda yang notabenenya adalah calon pemimpin masa depan negeri ini! Jika para calon pemimpin seperti ini, lantas bagaimana pola hidup generasi muda di masa depan?! Bagaimana kehidupan bangsa ini dimasa depan?!

Masih ada yang positif!

Ya. Dari kegiatan peryaaan kelulusan yang hinggar bingar di jalan raya oleh suara knalpot yang dipasang tanpa sarangan, ternyata masih ada yang bertindak positif.

Patut diacungi jempol! Dua jempol dari dua tangan. Tindakan positif tersebut adalah tekad mewariskan baju seragam untuk yang memerlukan, yaitu adik-adik kelas atau orang-orang yang memang sangat membutuhkan seragam sekolah tersebut.

Pada kenyataannya, masih terlalu banyak anak yang berkekurangan, termasuk pakaian seragam. Jika saja pakaian yang masih layak pakai dikumpulkan dan diberikan kepada yang membutuhkan, maka itu jauh lebih bermanfaat daripada dicoret-coret sekedar sebagai kenangan tetapi selanjutnya pakaian tersebut tidai dapat dipakai lagi!

Bukankah di sekolah ada organisasi yang ditangani siswa, untuk siswa, yaitu OSIS? Seharusnya pada saat ini, OSIS bertindak cepat dan proaktif untuk mengumpulkan seragam kelas III yang sudah tidak terpakai lagi. Selanjutnya seragam yang terkumpul dibagikan lagi kepada anak-anak yang membutuhkan seragam.

Sudah saatnya kita mengaktifkan dan memberi kesempatan pengurus OSIS untuk melakukan kegiatan amal ini. Ya, ini adalah kegiatan amal yang diselenggarakan oleh OSIS terhadap anak kelas III yang hendak meninggalkan sekolah.

Tentunya, jika hal ini dilakuakn secara sistenatis dan terorganisir, maka tidak perlu ada kegiatan coret-coret yang hanya menjadikan pakaian layak pakai tersebut terbuang sia-sia.

Jika semua anak menyadari betapa pentingnya seragam yang mereka coret-coret bagi orang lain, maka kesulitan yang dihadapi beberapa orang anak dapat diatasi dan ketertiban seragam dapat dicapai.

Memperhatikan dua hal tersebut, maka setidaknya kita menyadari bahwa seharusnya kegiatan konvoi ataupun coret-coret seragam tidak perlu dilakukan oleh mereka yang lulus. Lebih baik bersujud syukur dan menyumbangkan seragam untuk teman teman atau adik kelas yang membutuhkannya.

Hal inilah yang seringkali dilupakan bahkan diabaikan oleh banyak anak. Mereka tenggelam dalam suka cinta yang begitu menggelegak di permukaan hidup. Memang, seringkali saat suka cita datang menghampiri hidup kita, maka pada saat itu kita jadi lupa pada banyak hal, termasuk dalam hal ini adalah rasa kesetiakawanan dan interaksi sosial positif!

Untuk itu, yang kita perlukan adalah keseragaman langkah dari akar rumput hingga pucuk dedaunan agar secara aktif menyampaikan saran-saran positif bagi anak didik agar tidak melakukan hal-hal yang tidak berguna dan membahayakan keselamatan diri sendiri, apalagi orang lain.

Semoga, tahun depan kebiasaan ini tidak lagi terulang dan berubah menjadi kegiatan amal dari para lulusan untuk memberikan pakaian seragamnya untuk adik kelasnya yang tentunya membutuhkan seragam tersebut. Semoga

Tidak ada komentar: