Jumat, 25 Juli 2008

Sertifikasi untuk mengukur kelayakan guru sebagai tenaga profesional

Pendidikan di sekolah kejuruan menuntut orang-orang, baik guru maupun anak didik yang selalu sigap terhadap segala perkembangan kehidupan. Dengan kesigapan tersebut, maka diharapkan proses pemelajaran tidak mengalami kestatisan apalagi kemunduran.
SEkolah kejuruan memberikan proses pemelajaran berbasis teknologi yang sedang dan akan diterapkan di dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga untuk hal tersebut dibutuhkan orang-orang yang selalu siap menghadapi dan seklaigus menjawab tantangan yang selalu datang dan menghadang setiap langkah kehidupan. Kejuruan atau lebih tepatnya teknologi di dalam kehidupan kita adalah sesuatu yang sangat dinamis, sedinamis kehidupan ini sendiri.
Ada seorang tokoh mengatakan bahwa kehidupan adalah perbuatan. Apalah artinya hidup jika sama sekali tidak melakukan perbuatan sesuai dengan bidang yang ditanganinya? Begitu juga di dalam proses pendidikan, apalah artinya peran sebagai guru jika ternyata hanya omong saja?! banyak omong sedikit kerja. no action talk only! justru seharusnya seorang guru adalah less talk, do more!
Sementara ini, kita melihat kenyataan bahwa banyak guru kita yang hanya menang teori, pintar ngomong tetapi sama sekali tidak terlihat kegatannya yang menunjukkan eksistensi dirinya sebagai kaum intelek. Bahkan, sungguh sangat memalukan terlalu banyak guru yang untuk melengkapi persyaratan uji sertifikasi profesinya ternyata harus melakukan upaya rekayasa terhadap berkas atau portofolio yang hendak dinilai sebagai persyaratannya.
Berbagai cara dilakukan untuk dapat memenuhi persyaratan untuk mengikuti proses sertifikasi tersebut, tetapi sangat tidak mengenankan hati. Guru yang bertugas untuk membimbing anak para sikap dan pola hidup positif ternyata memberikan contoh negatif pada masyarakat luas.
Jika saja semua guru menyadari bahwa proses ujia sertifikasi ini merupakan upaya untuk mengukur kelayakannya sebagai guru yang sesuai dengan tuntutan keprofesionalitasan, maka hal tersebut tidak bakal terjadi. Masalahnya hanya karena para guru kadung keblinger dengan iming-iming akan mendapatkan tambahan gaji satu kali lipat sehingga terjadi penyimpangan seperti ini! Hal ini-pun seharusnya menjadi tanggungjawab para pembuat kebijakan, mengapa kebiajakan tersebut harus dikaitkan dengan hasil tersebut, seharusnya jika memang tujuannya untuk mengukur dan menentukan kelayakan seseorang menajdi guru yang profesional, tentunya tidak perlu dikaitkan dengan iming-iming segala. Akibatnya banyak guru yang tujuan mengikuti sertifikasi adalah untuk meraih iming-iming dan bukan untuk kelayakan profesi!
Ach. sebenarnya siapa yang salah?!

Tidak ada komentar: