Rabu, 16 Juli 2008

Guru BP, Bukan Polisi Sekolah

Selama ini telah terjadi pembiasan persepsi peserta didik terhadap eksistensi guru BP. Guru BP dianggap sebagai polisi, jaksa atau petugas kehakiman untuk memberikan sanksi kepada peserta didik yang melakukan kesalahan. Akibatnya, peserta didik ketakutan jika berhadapan dengan guru BP. Tentunya hal ini sangat merugikan peserta didik sebab sebenarnya eksistensi guru BP adalah sebagai konselor bagi peserta didik. Guru BP adalah pendamping peserta didik pada saat menghadapi permasalahan, baik pribadi antar peserta didik atau dengan guru. Semua untuk menciptaka nkondisi yang kondusif untuk belajar

Kondisi yang kondusif diantaranya adalah tenang, tertib, mengayomi, memungkinkan peserta didik berperanserta, merangsang rasa ingin tahu, membangkitkan semangat belajar peserta didik. Dengan kondisi seperti ini, maka peserta didik dapat mengikuti proses secara maksimal.

Tetapi, hal tersebut dapat berubah ketika seorang peserta didik dipanggil guru BP. Suasana kelas yang tenang, hati yang damai tiba-tiba menjadi gelisah dan ketakutan. Setiap peserta didik menjadi terpengaruh sehingga membuyar-kan konsentrasi belajarnya.

Bahkan, ketika guru BP mengetuk pintu dan masuk ke ruang kelas, secara spontan peserta didik merasa resah dan tidak enak hati. Mereka menebak-nebak permasalahan yang telah mereka lakukan sehingga guru BP memasuki ruang kelasnya. Guru BP telah dianggap sebagai polisi yag selalu mengincar mereka yang telah melakukan kesalahan atau jaksa/hakim yang langsung memberi vonis hukuman bagi mereka yang bersalah.

Guru BP Bukanlah Polisi, Jaksa atau Hakim Sekolah

Di sekolah, penulis diberi tugas untuk menangani bimbingan dan penyuluhan pada peserta didik. Penulis harus menangani setiap permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik sehingga tidak terganggu. Setiap saat penulis selalu berhadapan dengan peserta didik yang bermasalah dan harus menyelesai-kan permasalahannya sehingga proses belajar tidak terganggu.

Dan, satu hal yang selalu penulis hadapi adalah sikap peserta didik. Ketika pemulis mencoba untuk mendekati mereka, maka mereka ketakutan. Mereka menganggap bahwa guru BP adalah polisi, jaksa atau hakim yang selalu mengawasi tingkah laku dan memberi mereka hukuman jika melakukan kesalahan. Akibatnya, penulis dijauhi oleh peserta didik. Peserta didik enggan berurusan dengan penulis (guru BP), walaupun mereka bermasalah.

Oleh karena itulah, maka penulis berinisiatif untuk mengubah pola dan strategi pengelolaan dan penanganan masalah. Penulis bertindak sebagaimana seorang pemain sepak bola. Untuk itu, penulis tidak segan-segan untuk menjemput bola. Setiap saat penulis mencoba untuk melakukan pendekatan dengan peserta didik sehingga dapat menumbuhkan keakraban.

Pendekatan yang penulis lakukan adalah memberikan pembenaran atas persepsi mereka terhadap eksistensi guru BP. Penulis mencoba meluruskan anggapan peserta didik bahwa guru BP adalah polisi, jaksa atau hakim atas mereka. Justru, guru BP adalah sahabat mereka. Guru BP adalah tempat mereka curhat dan mendapatkan solusi dan penyelesaian masalah.

Pendekatan antar personal bahkan interpersonal menjadi salah satu teknik terbaik untuk memberikan pelurusan anggapan peserta didik terhadap eksistensi guru BP. Dengan pendekatan antar personal dan interpersonal, maka peserta didik menyadari pentingnya guru BP.

Dengan menghilangkan persepsi bahwa guru BP adalah polisi, jaksa atau hakim, maka peserta didik merasakan bahwa guru BP adalah konselor bagi setiap permasalahan, guru BP adalah sahabat yang peduli pada mereka dan siap membantu menyelesaikan setiap permasalahan.

Penulis mengajak mereka berbincang, tidak secara resmi di ruang BP. Secara periodek, penulis mencoba turba (turun ke bawah) mencari keterangan mengenai permasalahan langsung dari peserta didik. Tentunya hal ini penulis lakukan secara implisit sehingga mereka tidak menyadari jika sedang ditanyai hal penting tentang teman atau diri mereka.

Berbicara dari hati ke hati

Mengajak peserta didik berbicara dari hati ke hati merupakan salah satu cara efektif yang dapat dilakukan sebagai meluruskan persepsi peserta didik terhadap eksistensi guru BP. Dengan berbicara dari hati ke hati, maka segala permasalahan dapat diselesaikan secara cepat dan tepat.

Penulis berkeyakinan bahwa pendekatan dengan berbicara dari hati ke hati memungkinkan terciptanya sebuah jalinan benang merah antara guru BP dan peserta didik yang merupakan jembatan penghubung paling efektif.

Berbicara dari hati ke hati mengisyaratkan kepada kita bahwa sebenarnya guru BP dan peserta didik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan oleh apapun. Kesatuan inilah yang diharapkan memunculkan sikap saling pengertian atas kondisi masing-masing.

Sebagai seorang guru BP, pengetahuan tentang peserta didik sangat membantu pada saat harus menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa setiap permasalahan yang muncul merupakan akumulasi dari banyak masalah sebelumnya. Permasalahan selamanya merupakan sesuatu yang sangat krusial sehingga kita tidak dapat menyelesaikan secara tuntas jika kita tidak memahami kondisi peserta didik secara tuntas.

Peserta didik adalah sosok-sosok yang sedang mencari jati diri sehingga sangat rentan terhadap permasalahan. Untuk itulah seorang guru BP harus dapat menempatkan posisi diri secara tepat dan cepat agar masalah tidak berlarut dan berkembang. Guru BP tidak boleh memposisikan diri sebagai polisi, jaksa apalagi hakim dalam menghadapi permasalahan peserta didik.

Tidak ada komentar: