Rabu, 30 Juli 2008
Guru Sarjana tanpa kompetensi normatif? Primitif!!
Salah satu hal yang perlu dipersiapkan adalah tingkat pengetahuan, keterampilan terkait bidang pendidikan yang selama ini ditengarai menjadi salah satu penghalang peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini.
Tetapi, selama ini yang menjadi kendala juga adalah pola menjaga hati dan diri yang ternyata masih belum dapat maksimal dari para guru, terutama yang merasa pendidikannya sudah tinggi, ternyata pola kehidupannya tidak berbeda dengan anak-anak yang masih mencari jati dirinya!
Beberapa orang bahkan jelas-jelas begitu narsisnya ingin menonjolkan dirinya sebagai orang-orang intelek padahal pada kenyataannya sama sekali tidak menunjukkan keintelektualitasnya, Justru menunjukkan secara jelas sebagai orang-orang yang tidak terkontrol nafsunya sebagai manusia tak berpendidikan!
Apakah seperti ini yang diharapkan?
Pendidikan memang diarahkan mencapai peningkatan kualitas dengan memberikan batasan bagi guru minimal sarjana (S-1) bahkan sejak gru TK sudah harus S-1. Tetapi, hal tersbeut sama sekali tidak dibarengi dengan persyaratan kometensi normatif yang bagus, sehingga banyak guru yang pongah dan sama sekali tidak mencerminkan sebagai pendidik.
BAgaimana jika hal seperti ini terjadi?
Apakah benar efektivitas persyaratan guru strata 1 atau Sarjana itu?
Selasa, 29 Juli 2008
Pelajaran Terbaik
Seperti yang terjadi di Tembelang, sebuah Kota Kecamatan di Jombang, yang beberapa hari ini menjadi topik utama dalam setiap pembicaraan, baik di surat kabar maupun di televisi, apalagi di radio. Wah, pokoknya tiada hari tanpa membahas tentang Ryan.
INilah pendidikan dan pemelajaran terbaik bagi semuanya, bahwa pergaulan harusnya sangat kita seleksi dan benar-benar diantisipasi terhadap segala hal negatif yang pasti terjadi diantara kita. Tidak ada salahnya kita bergaul, tetapi setidaknya kita harus mengetahui hal-hal yang harus dan hal-hal yang tidak harus, bahkan yang dilarang oleh segala macam hukum kehidupan
POla pergaulan yang sedemikian bebas di antara anak-anak kita atau dis ekitar kita sangat emmungkinkan untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang selanjutnya berpotensi untuk terjadinya hal-hal tidak diinginkan.
Dan, biasanya kita hanya dapat mengeluh dan menyesal di kemudian harinya!
Duh, kalau saja penyesalan ada di depan, sebelum kita melakukan kegiatan, tentunya semua hidup secara damai!
Sabtu, 26 Juli 2008
Anak-anak Kita Kehilangan Kesempatan Belajar
Bagaimana tidak!?
Saat itu, aku ada keperluan ke kantor dinas untuk mengumpulkan berkas-berkas penting terkait dengan kenaikan pangkat. Saat lampu merah menghadangku di perempatan empunala-gajah mada itu, aku benar-benar tidak habis pikir.
Disaat itu, beberapa orang anak-seusia sekolah- ternyata begitu tenang berlalu lalang diantara kendaraan yang berhenti menunggu lampu berubah hijau.
Mereka langsung menadahkan tangan ke semua pengendara yang terhenti disitu.
Duh, ternyata mereka meminta-minta di jalan, di perempatan jalan tersebut, padahal aku yakin sekali mereka itu semua masih dalam usia sekolah dan sekarang masih jam sekolah!
Kutanya salah satu dari mereka, tetapi tidak menjawab, malah semakin menjauh dariku!
Duh, rasanya aku pingin sekali mempunyai sebuah wadah bagi mereka sehingga mempunyai waktu untuk belajar bersama mempersiapkan masa depan lebih baik, setidaknya meningkatkan kualitas diri mereka.
Saat aku panggil lagi anak tersebut, dia tidak kearahku tetapi justru semakin menjauhiku dan lampu mereha berubah menjadi hijau, maka akupun melaju, meninggalkan galau di dalam hati. Kapan negeri ini berkembang jika anak bangsanya menjadi peminta-minta?
Jumat, 25 Juli 2008
Sertifikasi untuk mengukur kelayakan guru sebagai tenaga profesional
SEkolah kejuruan memberikan proses pemelajaran berbasis teknologi yang sedang dan akan diterapkan di dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga untuk hal tersebut dibutuhkan orang-orang yang selalu siap menghadapi dan seklaigus menjawab tantangan yang selalu datang dan menghadang setiap langkah kehidupan. Kejuruan atau lebih tepatnya teknologi di dalam kehidupan kita adalah sesuatu yang sangat dinamis, sedinamis kehidupan ini sendiri.
Ada seorang tokoh mengatakan bahwa kehidupan adalah perbuatan. Apalah artinya hidup jika sama sekali tidak melakukan perbuatan sesuai dengan bidang yang ditanganinya? Begitu juga di dalam proses pendidikan, apalah artinya peran sebagai guru jika ternyata hanya omong saja?! banyak omong sedikit kerja. no action talk only! justru seharusnya seorang guru adalah less talk, do more!
Sementara ini, kita melihat kenyataan bahwa banyak guru kita yang hanya menang teori, pintar ngomong tetapi sama sekali tidak terlihat kegatannya yang menunjukkan eksistensi dirinya sebagai kaum intelek. Bahkan, sungguh sangat memalukan terlalu banyak guru yang untuk melengkapi persyaratan uji sertifikasi profesinya ternyata harus melakukan upaya rekayasa terhadap berkas atau portofolio yang hendak dinilai sebagai persyaratannya.
Berbagai cara dilakukan untuk dapat memenuhi persyaratan untuk mengikuti proses sertifikasi tersebut, tetapi sangat tidak mengenankan hati. Guru yang bertugas untuk membimbing anak para sikap dan pola hidup positif ternyata memberikan contoh negatif pada masyarakat luas.
Jika saja semua guru menyadari bahwa proses ujia sertifikasi ini merupakan upaya untuk mengukur kelayakannya sebagai guru yang sesuai dengan tuntutan keprofesionalitasan, maka hal tersebut tidak bakal terjadi. Masalahnya hanya karena para guru kadung keblinger dengan iming-iming akan mendapatkan tambahan gaji satu kali lipat sehingga terjadi penyimpangan seperti ini! Hal ini-pun seharusnya menjadi tanggungjawab para pembuat kebijakan, mengapa kebiajakan tersebut harus dikaitkan dengan hasil tersebut, seharusnya jika memang tujuannya untuk mengukur dan menentukan kelayakan seseorang menajdi guru yang profesional, tentunya tidak perlu dikaitkan dengan iming-iming segala. Akibatnya banyak guru yang tujuan mengikuti sertifikasi adalah untuk meraih iming-iming dan bukan untuk kelayakan profesi!
Ach. sebenarnya siapa yang salah?!
Selasa, 22 Juli 2008
Pendidikan butuh kebersamaan
Ketika menyaksikan betapa bersemangat anak-anak mengikuti proses pemelajaran, maka tumbuh kepercayaan did alam hati bahwa dengan material seperti ini, maka kemungkinan tercapainya tujuan pemelajaran menjadi semakin besar. Jangankan patokan 5,50, lebih saja kiranya dapat dicapai!
Setelah melihat kondisi seperti ini, maka selanjutnya yang perlu diantisipasi adalah sikap dan respon masyarakat terhadap kondisi ini. Jangan sampai kejadian selama ini terulang lagi, yaitu keacuhan masyarakat terhadap anak-anak yang melalaikan tugas belajar dan kongkow di pinggir jalan atau di tempat-tempat umum. Masyarakat seharusnya ikut peduli dengan secara bersama-sama membiasakan anak-anak berada di sekolah dan tidak ngabur dari sekolah/
Demikian juga halnya dengan aparat ketertiban yang ada di daerah, rasanya tidak ada masalah jika setiap saat dilakukan razia untuk anak-anak yang ngabur dari jam belajar. Ada banyak pihak yang seharusnya secara sadar ikut menangani hal seperti ini, tidak secara utuh menyerahkan pada sekolah sebab tidak mungkin sekolah memantau anak-anak hingga keluar lingkungan sekolah atau di masyarakat.
Rabu, 16 Juli 2008
Budaya Konvoi Dan Coret-Coret, Untuk Apa?
Duh, senang sekali hati saat mengetahui telah lulus dalam mengikuti ujian nasional. Rasanya segala beban yang menghimpit hati sirna begitu saja. Bongkahan bebatuan yang sejak persiapan, pelaksanaan danpasca ujian nasional terdepak oleh kabar kelulusan yang dapat diperoleh dari sekolah atau dari internet.
Dan, setiap kemenangan memang pantas untuk dirayakan. Keberhasilan atau kelulusan adalah sebuah kemenangan melawan sekian banyak soal ujian, maka sudah selayaknya jika dirayakan sebagai ungkapan kegembiraan dan kebahagiaan.
Tetapi, permasalahan timbul saat kita melihat model perayaan kegembiraan yang diungkapkan oleh anak-anak kita. Mereka seakan bukan anak-anak kita yang kemarin begitu manis saat kita berada di ruang kelas mereka dan menjelaskan materi pelajaran yan menjadi jatah belajar mereka.
Tiba-tiba saja mereka telah berganti tampilan sangat berlainan dengan kesehariannya. Mereka telah menjadi orang lain.
Wajah manis, imut-imut, pola berpakaian yang rapi dan bagus, semua telah hilang! Bahkan sopan santun yang selama ini tlah kita tanamkan selama mereka belajar sejak kelas satu hingga kelas tiga sudah hilang!
Yang muncul adalah sikap yang amburadul. Model rambut yang awut-awutan, baju yang penuh coret-coret, tanda tangan, bahkan wajah dan rambutnya tidak lepas dari semprotan cat dengan warna warni yang semarak. Baju yang sebenarnya masih bagus, tiba-tiba saja telah menjadi baju penuh semprotan cat dan torehan tinta spidol dengan berbagai macam tulisan atau tanda tangan
Mereka begitu gembira. Mereka bersemangat. Bahkan sepeda motor, mereka berkonvoi keliling
Suara ‘geberan’ gas dan sikap mereka pada saat mengendarai motor sungguh sangat ‘nggegirisi’, menakutkan dan mengkawatirkan bagi keselamatan diri sendiri ataupun keselamatan orang lain.
Dan, seringkali kegiatan ini ternyata memakan korban dari mereka juga. Berapa banyak mereka yang termakan oleh ‘keberanian’ mereka ‘beraksi’ di jalan raya untuk mengungkapkan kegembiraan karena lulus.
Tapi masalahnya adalah signifikansi model perayaan seperti itu dengan budaya bangsa ini. Apakah hal ini menggambarkan terjadinya pergeseran nilai pola kehidupan bangsa ini? Bukankah yang melakukan ‘atraksi’ ini adalah kaum muda, generasi muda yang notabenenya adalah calon pemimpin masa depan negeri ini! Jika para calon pemimpin seperti ini, lantas bagaimana pola hidup generasi muda di masa depan?! Bagaimana kehidupan bangsa ini dimasa depan?!
Masih ada yang positif!
Ya. Dari kegiatan peryaaan kelulusan yang hinggar bingar di jalan raya oleh suara knalpot yang dipasang tanpa sarangan, ternyata masih ada yang bertindak positif.
Patut diacungi jempol! Dua jempol dari dua tangan. Tindakan positif tersebut adalah tekad mewariskan baju seragam untuk yang memerlukan, yaitu adik-adik kelas atau orang-orang yang memang sangat membutuhkan seragam sekolah tersebut.
Pada kenyataannya, masih terlalu banyak anak yang berkekurangan, termasuk pakaian seragam. Jika saja pakaian yang masih layak pakai dikumpulkan dan diberikan kepada yang membutuhkan, maka itu jauh lebih bermanfaat daripada dicoret-coret sekedar sebagai kenangan tetapi selanjutnya pakaian tersebut tidai dapat dipakai lagi!
Bukankah di sekolah ada organisasi yang ditangani siswa, untuk siswa, yaitu OSIS? Seharusnya pada saat ini, OSIS bertindak cepat dan proaktif untuk mengumpulkan seragam kelas III yang sudah tidak terpakai lagi. Selanjutnya seragam yang terkumpul dibagikan lagi kepada anak-anak yang membutuhkan seragam.
Sudah saatnya kita mengaktifkan dan memberi kesempatan pengurus OSIS untuk melakukan kegiatan amal ini. Ya, ini adalah kegiatan amal yang diselenggarakan oleh OSIS terhadap anak kelas III yang hendak meninggalkan sekolah.
Tentunya, jika hal ini dilakuakn secara sistenatis dan terorganisir, maka tidak perlu ada kegiatan coret-coret yang hanya menjadikan pakaian layak pakai tersebut terbuang sia-sia.
Jika semua anak menyadari betapa pentingnya seragam yang mereka coret-coret bagi orang lain, maka kesulitan yang dihadapi beberapa orang anak dapat diatasi dan ketertiban seragam dapat dicapai.
Memperhatikan dua hal tersebut, maka setidaknya kita menyadari bahwa seharusnya kegiatan konvoi ataupun coret-coret seragam tidak perlu dilakukan oleh mereka yang lulus. Lebih baik bersujud syukur dan menyumbangkan seragam untuk teman teman atau adik kelas yang membutuhkannya.
Hal inilah yang seringkali dilupakan bahkan diabaikan oleh banyak anak. Mereka tenggelam dalam suka cinta yang begitu menggelegak di permukaan hidup. Memang, seringkali saat suka cita datang menghampiri hidup kita, maka pada saat itu kita jadi lupa pada banyak hal, termasuk dalam hal ini adalah rasa kesetiakawanan dan interaksi sosial positif!
Untuk itu, yang kita perlukan adalah keseragaman langkah dari akar rumput hingga pucuk dedaunan agar secara aktif menyampaikan saran-saran positif bagi anak didik agar tidak melakukan hal-hal yang tidak berguna dan membahayakan keselamatan diri sendiri, apalagi orang lain.
Guru harus mampu mengembangkan kontrol naluri dirinya
Di dalam proses pembelajaran, seorang guru memegangkendali utuh dalam memberikan arahan, bimbingan, dan pendampingan anak dalam proses mem-persiapkan diri menuju masa depan yang lebih baik dari kondisi sekarang. Dengan demikian, maka seorang guru dituntut untuk mempunyai kesiapan yang matang sehingga proses pembimbingan dan pendampingan yang dilakukannya benar-benar efektif dan efisien. Tanpa kemampuan yang cukup, tentunya orangtua menjadi ragu menyerahkan proses pembelajaran anak-anaknya kepada sang guru.
Guru haruslah mempunyai tingkat kematangan emosi yang sudah mapan sehingga setiap saat mampu meghadapi permasalahan dan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan baik. Hal ini menunjukkan tingkat kecerdasaan seorang guru dalam pola pemikiran kreatif, inovatif dan selalu tanggap terhadap kondisi kehidupan masyarakat. Dalam kondisi yang lainnya, seorang guru harus selalu tanggap terhadap setiap perubahan paradigma yang terjadi dalam ke-hidupan masyarakat dan langsung menentukan langkah efektif untuk meng-hadapi permasalahan tersebut. Kemampuan ini selanjutnya kita sebut sebagai kontrol naluri seorang guru.
Kontrol naluri diartikan secara bebas sebagai suatu keadaan yang dimiliki oleh seorang guru dalam menanggapi setiap kondisi yang timbul di dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya. Guru harus mempunyai kemampuan untuk melakukan langkah-langkah prediksi ataupun langkah-langkah penyelesaian masalah yang mungkin muncul di dalam proses pembelajarannya. Guru harus mampu memprediksi sekaligus mengambil solusi yang tepat dalam menyelesai-kan setiap permasalahan yang timbul di dalam proses pembelajaran yang dipandunya. Bahkan jika diperlukan seorang guru harus mempunyai kemam-puan mengembangkan proteksi diri di dalam diri anak-anak didiknya sehingga secara otomatis anak mempunyai kesanggupan untuk membentengi diri ter-hadap setiap permasalahan hidup. sama seperti antivirus yang kita pasang di sirkuit computer kita dengan kemampuan up grade sendiri secara otomatis!
Selanjutnya kontrol naluri ini dapat kita katakan sebagai responsibilitas seorang guru terhadap setiap fenomena yang muncul dalam kegiatan pembelajarannya. Daya tanggap seorang guru terhadap setiap peristiwa yang mungkin timbul ataupun yang sudah timbul di dalam proses pembelajarannya. Dan, selanjutnya diikuti oleh langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikan setiap permasalahan secara efektif dan efisien. Bagaimana seorang guru dapat menganalisa setiap kejadian yang ada di dalam proses pembelajaranya, khususnya berkaitan dengan eksistensi anak didik dalam menggapai tujuan pembelajarannya. Dengan kemampuan tersebut, maka seorang guru mampu memprediksi setiap permasalahan yang bakal timbul pada saat mempelajari konsep materi pembelajaran dan selanjutnya memyusun konsep-konsep baru untuk proses pengayaan bagi peningkatan kemampuan anak didik.
Guru harus segera mengembangkan kontrol naluri ini sehingga secara cepat dapat melakukan langkah-langkah konkrit dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang tumbuh dalam kegiatannya. Dalam hal ini, kontrol naluri juga mengandung pengertian tingkat kepedulian guru terhadap lingkungannya, termasuk dalam hal ini adalah lingkungan anak didiknya. Seberapa besar tingkat kepedulian seorang guru terhadap lingkungannya, menunjukkan seberapa tinggi tingkat kontrol naluri guru terhadap lingkungannya. Tentu saja, kita me-ngatakan bahwa guru yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungannya adalah guru-guru yang mempunyai kontrol naluri yang bagus.sedangkan guru-guru yang tidak mempunyai atau sulit melakukan prediksi terhadap kondisi kehidupan di sekitarnya, khususnya berkaitan dengan proses pembelajaran, maka mereka kita kelompokkan pada guru dengan tingkat control dirinya rendah. Dan, jika ternyata kondisi tersebut kita alami, maka sudah seharusnya kita secara intens mengembangkan diri agar control diri kita berkembang secara maksimal dan selanjutnya dipakai untu mengembnagkan berbagai kerasi dan inovasi pembelajaran agar anak didik memperoleh pengetahaun, keterampilan dan transfer attitude yang maksimal. Dan, hal itulah yang terpenting bagi prosespembelajaran efektif.
Menyadari hal tersebut, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi se-orang guru untuk secara intens berusaha mengembangkan diri menuju pengu-asaan kontrol naluri yang bagus tersebut. Setidaknya jika seorang guru mempunyai tingkat pengontrolan naluri yang bagus, maka segala permasalahan dapat segera diselesaikan tanpa harus menunggu masalah tersebut berkembang dan mengancam kondisi. Oleh karena itulah, maka seorang guru harus belajar memperhatikan setiap kondisi anak didik, mengenal secara mendalam kondisi anak didik yang meliputi segala hal yang berhubungan dengan anak didik, misalnya sikap hidupnya, latar belakang keluarganya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan anak didik dalam kehidupannya. Hal ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan sebab semua itu dapat secara langsung diamati guru dalam pola interaksi edukasi yang dilakukan sehari-hari.
Kontrol naluri merupakan sikap cepat tanggap seseorang terhadap setiap indikasi ataupun fenomena yang terjadi di dalam kehidupan yang ada di se-kelilingnya. Dengan kontrol naluri ini, maka seseorang mempunyai kepedulian yang cukup tinggi terhadap kondisi lingkungannya. Kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan, khususnya terhadap anak didik inilah yang sesungguhnya merupakan faktor penting untuk dapat memposisikan anak didik selalu hadir secara utuh di dalam proses pembelajaran. Jika anak didik merasa diperhatikan secara intens, maka sebagai responnya mereka-pun akan memberikan perhatian terhadap semua kegiatan yang dilakukan guru. Mereka pasti merasa perlu memperhatikan semua kegiatan yang dilakukan guru dan selanjutnya memberikan kontribusi yang baik bagi kegiatan tersebut. Bagaimanapun kita harus menyadari bahwa anak didik kita adalah pribadi-pribadi yang masih membutuhkan perhatian sangat tinggi sebab kondisi kejiwaannya yang masih labil, dalam arti masih mudah terombang-ambing oleh pengaruh kehidupan di sekitarnya sehingga seringkali melakukan kesalahan dalam memilih konsep kehidupan bagi dirinya. Oleh karena itulah, maka diperlukan guru yang mempunyai control naluri terhadap kondisi anak didiknya secara baik.
Jika guru mempunyai kontrol naluri yang bagus, maka apapun yang dilakukan anak didik dapat segera diketahui oleh guru dan selanjutnya segear ditangani. Dengan kondisi seperti ini, maka setiap permasalahan segera ter-selesaikan sebelum masalah tersebut berkepanjangan. Setidaknya guru telah mempunyai bekal untuk dapat memahami kondisi kejiwaan anak didik pada saat menempuh pembelajaran kependidikan. Bekal ilmu kejiwaan yang diterima guru pada saat menempuh pendidikan keguruan merupakan sesuatu yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang diampunya. Oleh karena itulah, sebagai seorang guru sangat perlu memahami konsep-konsep kejiwaan, khususnya berkaitan dengan anak didik. Dengan pemahaman konsep kejiwaan, maka setidaknya seorang guru dapat memprediksi setiap kondisi yang di-hadapinya di kelas. Hal ini merupakan kemampuan mendasar yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru agar proses pembelajaran yang diampunya dapat berjalan maksimal. Sementara maksimalitas proses tergantung pada maksimali-tas keterikutan anak didik didalam proses pembelajaran. Jika anak didik maksimal dalam mengikuti proses pembelajaran, tentunya proses pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pembelajaran yang disusun oleh guru dalam program pembelajarannya. Tetapi, jika anak didik tidak mengikuti proses pembelajaran secara maksimal, tentunya hal tersebut tidak berarti apa-apa.
Sebenarnya, didalam sebuah proses pembelajaran, peranan guru sedemi-kian rupa sehingga sudah seharusnya mengetahui secara detail kondisi anak-anaknya. Setiap saat guru berinteraksi dengan anak didik, baik dalam interaksi di kelas maupun di sekolah secara umum. Setiap saat mereka berkomunikasi dan bergaul sehingga sudah barang tentu kondisi pergaulan guru dan anak didik sedemikian rupa sehingga diketahui sifat-sifat khusus pada setiap anak didik, jika guru benar-benar memperhatikan kondisi anak didiknya, setidaknya sebagian besar sikap dan sifat anak didik diketahui oleh guru, apalagi untuk anak-anak dengan sikap dan sifat-sifat khusus, misalnya kenakalannya tinggi atau kepandaianya diatas rata-rata. Mereka adalah kelompok anak-anak yang gampang sekali dikenali oleh guru. Dalam hal ini ada tiga kelompok anak yang mudah sekali dikenali oleh guru, yaitu anak yang pandai, anak yang tidak pandai atau bodoh, dan anak yang nakal. Umumnya guru segera respon jika melihat anak-anak yang termasuk dalam kelompok tersebut. Hampir semua guru mengenal anak-anak yang termasuk dalam kelompok tersebut. Anak yang nakal dikenal karena kondisi negatif yang diciptakannya dalam interaksi edukatif di sekolah. Anak pandai dan anak bodoh juga demikian, sebab kedua kelompok anak ini berkaitan dengan prestasi akademik sehingga semua guru mengenal mereka. Sedangkan, yang tersulit adalah memperhatikan kelompok anak-anak yang berada di tengah-tengah kelompok tersebut atau kelompok anak-anak dengan kondisi sedang-sedang saja, pandai tidak, bodoh juga tidak, nakal tidak, menurut juga tidak. Hal ini sungguh sangat merepotkan bagi guru untuk mengklasifikasikannya apalagi untuk menghafal satu persatu dari mereka.
Pentingnya obyektifitas dalam proses sertifikasi guru
Latar Belakang
Bangsa yang besar adalah bangsa yang anak bangsanya mempunyai kualitas diri tinggi serta mampu mengaktualisasikan kemampuan tersebut di dalam proses kehidupan nyata sehingga benar-benar bermanfaat bagi ke-hidupan masyarakatnya, maupun masyarakat dunia. Dan, kualitas anak bangsa ditentukan oleh kualitas proses pembelajaran dan pendidikan yang diterapkan oleh seluruh elemen, khususnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Untuk hal tersebut, maka seyogyanya pembenahan proses pendidikan perlu dilakukan sesegera mungkin sehingga bangsa yang ‘besar’ jumlah penduduknya ini benar-benar menjadi bangsa yang besar dalam arti pergaulan dengan bangsa lainnya di dunia.
Sementara untuk dapat meningkatkan kualitas diri anak bangsanya, maka langkah nyata yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas hasil proses pendidikan. Pendidikan merupakan pintu gerbang menuju ladang kualitas diri. Seseorang yang berpendidikan secara langsung adalah orang-orang yang berkualitas dan pada umumnya mereka mempunyai akses yang cukup besar dalam emmasuki setiap peintu gerbang keberhasilan dalam kehidupannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang harus mendapatkan perhatian adalah peran pengelola dan penyelenggara pendidikan, khususnya guru. Guru harus benar-benar adalah sosok-sosok yang kompeten pada bidangnya. Guru yang bertugas sebagai fasilitator pendidikan haruslah orang-orang yang mempunyai kualitas diri tinggi, jika kita meginginkan hasil proses pendidikan dan pembelajaran yang maksimal.
Peningkatan kualitas para guru memang merupakan pekerjan rumah yang selama ini belum dapat dituntaskan penangananya. Program-program yang diarahkan untuk guru selama ini belum sampai pada peningkatan kualitas personil, diri guru, melainkan hanya sampai pada aspek pengelolaan sarana prasarana pembelajaran saja.
Oleh karena itulah, sudah saatnya kita memfokuskan pemikiran pada program peningkatan kualitas guru. Kualitas guru haruslah diperhatikan sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap upaya untuk mneingkatkan kualitas pembelajaran dan pada akhirnya hal tersebut merambat pada pening-katan kualitas pendidikan, sesuai dengan program yang sudah dicanangkan oleh semuanya.
Guru sebagai sosok yang secara langsung berhubungan dengan anak didik memegang peranan penting di dalam mengkondisikan anak didik sebagaimana tujuan pendidikan. Hal ini merupakan tugas yang sangat berat sebab harus melakukan rekonstruksi terhadap kondisi yang ada pada anak didik. Guru harus melakukan perubahan kemampuan dan kemauan yang dimiliki oleh anak didik sehingga sinergis dengan tujuan proses pendidikan, padahal anak adalah sosok tersendiri yang mempunyai pola pemikiran, kreasi, kemampuan dan kemauan yang berbeda. Guru harus dapat menjadi ‘virus’ yang dapat mempengaruhi anak didik agar mengikuti program yang diinginkan oleh proses pendidikan dan pembelajaran.
Dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru, maka setidaknya anak didik mengalami transformasi bahkan metamorphose kondisi dirinya. Dan, sesungguhnya transformasi dan metamorphose itulah yang kita inginkan dari proses pendidikan. Tujuan utama dari proses pendidikan tidak lain adalah melakukan perubahan mendasar pada kompetensi yang dimiliki oleh anak didik sehingg sesuai dengan tujuan hidup secara luas.
Untuk dapat merealisasi kondisi tersebut, maka yang diperlukan adalah kepastian kondisi para guru sebagai pendidik dan pengajar. Guru haruslah dapat diketahui secara pasti tingkat kemampuannya di dalam mengelola proses pembelajaran dan tingkat keberhasilannya dalam mengelola proses pembelajar-an. Dan, sertifikasi guru memang merupakan jawaban atas program pening-katan kualitas sumber daya manusia dalam dunia pendidikan.
Sertifikasi adalah untuk menentukan kelayakan seseorang sebagai guru
Guru adalah sosok yang seharusnya dapat digugu dan ditiru. Guru itu panutan bagi semua orang, khususnya para anak didik yang diasuhnya. Setiap apa yang dikatakan oleh guru seharusnya sesuatu yang dapat digugu, dapat dipercaya sehingga anak didik mengalami transformasi yang benar. demikian juga halnya dengan segala yang dilakukan guru seharusnya adalah segala yang dapat ditiru dan diterapkan oleh anak didik dalam pola kehidupan nyata. Hal ini bercermin pada satu kenyataan bahwa anak didik berada pada masa mencari jati diri. Anak didik masih berusaha untuk menempatkan diri sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Oleh karena itulah, maka mnejadi tugas guru untuk memberikan contoh, teladan tentang hal-hal yang perlu dilakukan anak didik agar tidak mengalami kesulitan saat berada di dalam lingkungan masyarakat.
Tugas guru di dalam proses pembelajaran memang cukup luas, tidak sekedar memberikan materi pelajaran melainkan secara umum dan utuh guru harus dapat memfasilitasikan kebutuhan anak didik atas berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap hidup positif yang terpakai dalam kehidupannya. Tuntutan ini tentu saja memaksa guru untuk secara aktif meningkatkan kemampuan yang dimilikinya agar anak didiknya tidak mengalami kegagapan saat harus menghadapi kehidupan. Dan, untuk mempersiapkan kemampuan tersebut, maka harus mengembangkan potensi profesi secara signifikan sehingga benar-benar siap.
Secara umum, guru memang haruslah dikondisikan sedemikian rupa sehingga kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan bidang yang dikerjakan.
Pada saat sekarang ini, fenomena program sertifikasi guru menjadi bahan pembicaraan yang terjadi dimana-mana, khususnya di lingungan dunia pen-didikan. Program sertifikasi seakan sebuah bius yang memaksa setiap orang merasa harus berkomentar terhadapnya sehingga benar-benar menjadi bagian tidak terpisah dari semua orang, khususnya para guru.
Sertifikasi guru memang sangat penting dan sudah saatnya diberlakukan sehingga kita dapat melihat peta kualitas hasil proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh setiap sekolah. Dengan mengetahui guru-guru yang sudah bersertifikat, maka setidaknya kita dapat memantau secara pasti kegiatan efektif yang dilakukan oleh guru sehingga dapat diketahui layak ataukah tidak sese-orang menjadi guru. Kelayakan seseorang di dalam melaksanakan tugas sebagai guru pada akhirnya membawa proses pendidikan dan pembelajaran yang benar-benar mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan.
Pada saat seorang guru mengikuti proses sertifikasi, maka pada saat tersebut mereka harus berjuang untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Sertifikasi sebenarnya dijalani dengan mengikuti proses evaluasi terhadap segala hal yang dilakukan pada proses pembelajaran, baik yang sudah dilaksanakan maupun yang hendak dilaksanakan di waktu-waktu mendatang. Jika kita melihat program kerja seorang guru, maka sebenarnya setiap program yang disusun diarahkan untuk mengkondisikan kegiatan pada tingkat pencapaian kualitas tertinggi. Dan, sertifikasi memang lebih mnenekankan untuk menge-tahui secara jelas kualitas seseorang pada saat memegang pekerjaan sebagai guru.
Sertifikasi membutuhkan obyektifitas proses
Obyektivitas merupakan prasyarat tercapainya sebuah kondisi ideal yang di-inginkan oleh setiap orang maupun organisasi. Hal ini berkait dengan kenyataan bahwa dengan obyektivitas yang tinggi, maka segala yang hal terjadi dapat segera diketahui dan selanjutnya dilakukan langkah-langkah pencegahan serta jika belum terjadi atau penyelesaian jika sudah terjadi.
Demikian juga halnya dalam proses sertifikasi guru, seharusnya hal utama yang diterapkan agar program ini benar-benar sesuai dengan konsep dasarnya adalah menerapkan obyektivitas tinggi. Obyektivitas ini tertutama kita perlukan untuk menghindari adanya ‘permainan’ lama, yaitu upaya merekayasa proses sehingga program sertifikasi akhirnya hanyalah sebuah formalitas untuk menaikan pangkat dan golongan semata, sebagaimana penerapan angka kredit yang harus mengajukan banyak berkas yang berhubungan dengan proses pembelajaran yang ‘sudah’ dilakukannya pada saat-saat terdahulu.
Kita harus memahami konsep dasar dan tujuan penerapan program sertifikasi bagi guru yaitu meningkatkan kualitas proses dan hasil proses pen-didikan di negeri ini, walau kemudian hal tesebut diembel-embeli dengan janji akan didapatkannya tunjangan profesi bagi guru-guru yang dinyatakan lulus dalam proses sertifikasi. Dengan adanya embel-embel tersebut, maka ber-bondong - bondonglah guru mendaftarkan diri untuk mengikuti proses sertifikasi. Berbagai cara ditempuh untuk dapat mengikuti proses sertifikasi tersebut. Apalagi yang sudah terjaring pada ketentuan mengikuti proses sertifi-kasi tersebut. Mereka berusaha sekuat tenaga dan semampu ‘dana’ yang dimiliki utuk dapat melengkapi berkas yang dibutuhkan dalam sertifikasi.
Sekali lagi kita perlu memahami bahwa konsep dasar penyelenggaraan sertifikasi guru adalah untuk memposisikan guru pada tingkat kualifikasi yang sesuai dengan pekerjaan utamanya. Kita ingin mengetahui kelayakan seorang guru berkaitan dengan kualitas diri dalam pelaksanaan proses pembelajaran sebab hanya dengan guru yang berkualitas saja, dunia pendidikan kita dapat terentas dari keterpurukannya selama ini. Bahwa munculnya program sertifikasi tidak lain adalah untuk menjawab masalah keterpurukan dunia pendidikan yang selama ini sungguh sangat merisihkan kita.
Seharusnya, jika kita ingin meningkatkan kualitas proses pembelajaran atau pendidikan, maka yang perlu diperhatikan adalah sumber daya manusia yang berperan dalam proses tersebut. Sebagaimana sebuah perusahaan, jika yang mengelola, yang berperan mempunyai tingkat kualitas diri yang tinggi, maka tentunya tingkat produktivitas perusahaan dapat maksimal. Dunia pen-didikan tidak berbeda dengan perusahaan sebab ada produk yang dihasilkan oleh dunia pendidikan, yaitu para lulusan yang berkualitas atau tidak.
Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, maka proses rekrutmen seharusnya dilakukan secara teliti dan obyektif, tidak sekedar per-syaratan semata. Setiap guru yang mengajukan diri untuk mengikuti proses sertifikasi seharusnya mendapatkan perlakukan atau evaluasi secara obyektif dan tidak memberikan kesempatan pada subyektivitas agar dapat diketahui secara pasti tingkat kualitas yang dipersyaratakan untuk mendapatkan sertifikat kelayakan menjadi guru.
Salah satu syarat yang dijadikan sebagai indikator proses sertifikasi adalah pengumpulan berkas yang dinamakan porto folio, yaitu berkas rekaman kegiatan yang dilakukan oleh guru bersangkutan selama melaksanakan tugas-nya. Porto folio yang harus dikumpulkan oleh guru peserta sertifikasi adalah berbagai rekaman kegiatan yang menunjukkan kemampuannya dalam me-nyelengarakan proses pembelajaran, misalnya program pembelajaran, beberapa sertifikat terkait, dan berkas yang berupa bukti unsur pengembangan profesi yang berupa karya tulis yang sudah dipublikasikan, karya penelitian, atau buku yang diterbitkan. Dari pengumpulan berkas inilah yang seringkali menjadi kesempatan untuk menyusun strategi dengan menerbitkan berkas-berkas yang mungkin pada proses pembelajaran sebenarnya belum sempat dikerjakan, program pembelajaran yang belum disusun, pada saat ini dilakukan kerja cepat mutu tinggi dengan membuat secara kilat berkas yang diperlukan. Dari berkeas-berkas yang dikumpulkan kemudian disesuaikan dengan persyaratan yang dituntut dalam proses sertifikasi, jika ternyata ada berkas yang tidak dimiliki atau nilai kredit yang didapatkan dari berkas-berkas tersebut masih kurang memenuhi persyaratan, maka langkah ‘penyesuaian’ segera dilakukan agar mendapatkan nilai sesuai ketentuan dan lulus!
Semua berkas yang dikumpulkan oleh guru diserahkan kepada tim penilai untuk dievaluasi apakah sudah memenuhi syarat kelayakan men-dapatkan sertifikat sebagai guru. Disinilah masalah obyektivitas perlu diawasi secara teliti sehingga hasil penilaian yang diberikan benar-benar sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dan bukan sekedar hasil rekayasa untuk dapat me-luluskan guru bersangkutan. Jika hal ini benar-benar kita lakukan, maka tujuan untuk menyeleseksi guru atas kualitas dirinya sesuai dengan tugasnya dapat dicapai sesuai tujuan. Tetapi jika ternyata pada proses ini tetap saja terjadi perekayasaan data, maka sampai kapanpun upaya peningkatan kualitas dunia pendidikan di negeri ini tidak bakal tercapai.
Obyektivitas di dalam proses sertifikasi sangat diharapkan dapat di-terapkan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas keinginan untuk meng-angkat keterpurukan dunia pendidikan di negeri ini. Bagaimana mungkin kita dapat mencapai tujuan meningkatkan kualitas hasil proses pendidikan dan pembelajaran jika ternyata untuk proses sertifikasi guru saja ternyata tidak dijamin obyektivitasnya. Kita menyadari bahwa sebenarnya di dalam hati kita masing-masing mempunyai keinginan yang sama, yaitu ingin mengangkat derajat dunia pendidikan di negeri ini. Kita berkeinginan agar dunia pendidikan di negeri ini mendapatkan perhatian sebagaimana pernah dialami pada tahun-tahun terdahulu, yaitu sekitar tahun tujuh puluhan.
Semua memang memerlukan kebersamaan seluruh elemen terkait untuk mencapai target program. Oleh karena itulah, senyampang program ini masih hangat, maka kita tetapkan hati untuk benar-benar melaksanakan program seideal mungkin walau kita menyadari bahwa untuk menuju kondisi ideal memang merupakan program yang sangat berat. Ideal itu hanya ada di dalam pemikiran, sedangkan di dalam kenyataan semua serba mungkin untuk tidak terlaksana. Sekarang semua terserah pada kita untuk mengarahkan langkah kaki pada tujuan pengembangan dan peningkatan kualitas dunia pendidikan agar didapatkan kualitas dunia pendidikan yang dapat diperhitungkan oleh masya-rakat internasional. Tidak mungkin selamanya kita hanya menjadi juru kunci pada peringkatan kualitas pendidikan. Sudah saatnya kita memutuskan untuk mengambil alih posisi, setidaknya meningkatkan ranking keberhasilan dalam penyelenggaraan proses pendidikan.
Memberdayakan Guru menghadapi KTSP
KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan sebuah perangkat pembelajaran yang disusun dan dilaksanakan oleh setiap tingkat satuan pen-didikan. Proses penyusunan kurikulum ini merupakan sebuah keistimewaan tersendiri jika dibandingkan dengan pengalaman kurikulum - kurikulum ter-dahulu. Penulis mengatakan bahwa kurikulum ini istimewa sebab dalam hal ini guru menyusun kurikulum dan melaksanakannya dalam kegiatan pembelajaran-nya. Dengan demikian setidaknya proses pembelajaran yang direncanakan merupakan hasil kreasi dan kerja guru sejak perencanaan awal, penentuan materi pemelajaran, tata urutannya, sistem penerapannya, sistem penilaiannya, tindak lanjut dari proses pembelajaran, dan langkah-langkah penanganan jika anak didik mengalami kesulitan pada akhir masa penerapan materi pemelajaran. Inilah keistimewaan yang terkandung di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang sekarang ini hendak diterapkan, yaitu mulai tahun pelajaran 2007/2008. Kita dapat menentukan materi yang kita berikan kepada anak didik dan mensinergiskan dengan kebutuhan masyarakat.
KTSP memang merupakan sebuah rancangan program kegiatan pembelajaran yang lebih diarahkan pada penguasaan kompetensi atau kemampuan anak didik terhadap aspek-aspek tertentu berkaitan dengan kondisi yang diharapkan oleh masyarakat secara umum. Dengan KTSP ini, maka setidaknya seorang guru mempunyai keleluasan untuk memberikan materi pemelajaran dengan kom-petensi tinggi dan sesuai dengan hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar sekolah atau lingkungan hidup anak didik. Kita tidak perlu bermuluk-muluk memberikan sesuatu yang ternyata tidak mungkin diterapkan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itulah, maka di dalam proses penyusunan kurikulum ini, tingkat kompetensi yang hendak dicapai dari hasil proses pembelajaran diarahkan untuk pencapaian pada tingkatan tertentu, misalnya secara lokal, regional, nasional, atau bahkan secara internasional. Guru sebagai penyusun isi kurikulum mempunyai kewenangan atau otonomi yang luas untuk menentukan seberapa tingkat kompetensi yang harus dicapai oleh anak didik agar dikatakan telah berhasil menyelesaikan proses pembelajaran dengan meng-gunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan ini.
KTSP ini memang jika kita telaah lebih mendalam merupakan upaya untuk mengembalikan kewenangan atau otonomi guru untuk merencanakan proses pembelajaran yang hendak dilaksanakannya. Guru mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan segala potensi dirinya sehingga konsep profesionali-sasi profesi benar-benar dapat terwujudkan dalam kondisi seperti ini. Bagaimana –pun seorang guru memang sudah seharusnya mempunyai kesempatan untuk menunjukkan segala potensi yang ada di dalam dirinya, termasuk dalam hal ini adalah kemampuan untuk menyusun perencanaan pembelajaran.
Selama ini, diakui atau tidak kita para guru telah dibuat mandul dengan patron kurikulum yang sudah ada secara nasional. Selama ini kita hanya copy paste saja semua aspek yang harus ada di dalam kurikulum. Kita adalah kaum replikan yang dengan begitu saja menerima segala sesuatu yang sudah jadi dan selanjut-nya dijadikan sebagai dasar pekerjaan. tentunya kita dapat membayangkan apa yang bakal terjadi jika kondisi seperti ini terus diterapkan, sementara para guru sama sekali tidak ikut dalam proses penyusunan materi kurikulum dan lagi isi kurikuum tersebut adalah bersifat dan berskala nasional sehingga seringkali berbeda dengan yang dibutuhkan di masyarakat sekitar sekolah atau lingkungan di sekitar sekolah. Hal ini jelas-jelas menjadi guru hanya sebagai user dari sebuah produk dan harus menerapkan produk tersebut di dalam kegiatan hidupnya, walaupun tanpa keterlibatannya pada saat merencanakan dan menyusunnya, sehingga dengan demikian para guru harus memelajari kurikulum tersebut terlebih dahulu dan setelah memahami konsep-konsepnya, maka baru dapat menerapkan dalam ekgiatan pembelajaran yang nyata. Semenytara karena pada awalnya tidak ikut merencanakan dan menyusun, maka yang terjadi adalah seringnya terjadi kesalahan persepsi terhadap aspek yang ada di dalam kuri-kulum. Kondisi ini menjadikan para guru mandul sebab tidak kreatif.
Untuk dapat mengikuti dan selanjutnya menyusun serta melaksanakan kuri-kulum jenis ini, memang diperlukan guru-guru yang penuh kreativitas dan inovasi yang tinggi. Disamping itu, kita juga membutuhkan guru-guru yang benar-benar mengabdi bagi kelangsungan pelaksanaan proses pendidikan. Hal ini sangat penting sebab, jika memang benar-benar menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan, maka guru harus benar-benar proaktif dalam mempersiapkan segala kelengkapan pembelajarannya, dari awal hingga akhir-nya.
Tentu saja dalam hal ini kita masih tetap membutuhkan out line atas aspek-aspek pemelajaran yang perlu diberikan kepada anak didik yang disinergiskan dengan berbagai kondisi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Langkah ini sangat penting agar tujuan perencanaan dan penyusunan kurikulum ter-capai. Out line inilah yang dijadikan sebagai dasar perencanaan dan penyusunan materi kurikulum, tentu saja dalam hal ini out line harus disesuaikan terlebih dulu dengan kondisi lingkungan. Jika ada out line nasional atau copy paste yang tidak sesuai dengan kondisi, maka perlu disesuaikan sehingga benar-benar men-jamin keterlaksanaan kurikulumnya.
Kurikulum implementatif
Guru mendasarkan proses perencanaan dan penyusunan kurikulum berdasar-kan kondisi di lingkungan, oleh karena itulah, maka guru perlu melakukan survey lapangan atau pengamatan yang mendalam terdapat kondisi lingkungan yang perlu dimasukkan di dalam kurikulum pemelajaran di tingkat satuan pen-didikan, dimana mereka bekerja. Survey lapangan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara sehingga benar-benar didapatkan informasi yang Sebenarnya, kurikulum ini sudah diterapkan sejak lama di proses pemelajaran sekolah menengah kejuruan (SMK) yang disebut sebagai kurikulum implementatif. Kurikulum ini disusun oleh guru bekerja sama dengan dunia industri atau dunia usaha sebagai institusi pasangan dari sekolah menengah kejuruan. Dalam hal ini sebenarnya kurikulum jenis ini bukan lagi barang baru bagi guru-guru di SMK sebab selama ini mereka sudah menyusun jenis kurikulum tersendiri yang merupakan bentuk kerja sama antara sekolah dengan dunia industri maupun dunia usaha.
Diakui atau tidak sebenarnya sejak lama selalu terjadi bahwa kurikulum yang diterapkan di dalam proses pemelajaran di sekolah menengah kejuruan (SMK) merupakan cikal bakal dari kurikulum-kurikulum yan selanjutnya diterapkan. Jauh sebelum ditetapkan bahwa sekolah-sekolah harus menerapkan kurikulum berbasis kompetensi, maka sekolah menengah kejuruan sudah menerapkannya, sebab anak didiknya memang dituntut untuk mempunyai kemampuan atau kompetensi. Penerapan kurikulum yang berbasis kompetensi memang sudah harus diterapkan sebab anak didik pada proses pemelajaran selain diberikan pemelajaran mata diklat adaptif dan normatif, juga diberikan mata pelajaran produktif. Disinilah yang memungkinkan sekolah menengah kejuruan lebih dahulu menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Begitu juga ketika di-canangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan, dimana diharapkan adanya sikap proaktif dari semua guru untuk merencanakan dan menyusun konsep kurikulum yan dipergunakan di tingkat satuan pendidikan dimana mereka ber-tugas. Ternyata, jenis kurikulum inipun sudah lebih dulu diterapkan di sekolah menengah kejuruan
Pada dasarnya, kurikulum implementatif yang diterapkan di sekolah menengah kejuruan merupakan hasil kreasi guru yang disinergiskan dengan dunia usaha dan dunia industri. Di dalam aspek-aspek materi pemelajaran yang hendak diberikan kepada anak didik dalam kurikulum implementatif merupakan hasil sharing antara sekolah (guru) dengan dunia usaha/industri. Mereka merencana-kan materi pemelajaran yang diberikan kepada anak didik dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat. Sekolah/guru berkonsultasi dengan dunia usaha/ industri mengenai segala hal yang pada umumnya diperlukan oleh dunia usaha /dunia industri. Kebersamaan inilah yang memungkinak sekolah menengah kejuruan mempunyai kesempatan terlebih dahulu dalam menerapkan jenis kurikulum yang memberikan kesempatan seluasnya pada para gurunya untuk mengembangkan potensi dirinya dalam merencanakan dan menyusun kuri-kulum yang implementatif dengan kegiatan dalam kehidupan nyata.
Dan, sekarang pemerintah mencanangkan jenis kurikulum yang memberikan keluasan kepada guru untuk merencanakan dan menyusunnya sendiri dengan penyesuaian terhadap konsep-konsep kehidupan. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep dasar pada saat merencanakan dan menyusun kurikulum implementtatif di sekolah menengah kejuruan (SMK). Oleh karena itulah, maka seharusnya guru-guru yang mengajar di SMK menghadapi kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai sesuatu yang sudah biasa sehingga tidaklah sulit untuk menyusunnya.
Memberdayakan guru
Sebenarnya jika kita mempelajari konsep dasar dari pencanangan kurikulum tingkat satuan pendidikan, dimana dalam hal ini peran serta guru sangat diharapkan dan menjadi tolok ukur dari keterlaksanaan penerapannya, maka melihat adanya satu langkah terbaik yang dilakukan oleh pemerintah. Langkah terbaik tersebut adalah adanya upaya untuk memberikan kembali wilayah otonomi guru yang selama ini telah dirampas oleh pusat sehingga di lapangan guru hanyalah pelaksana dan bukan perancang, perencana dan perumus pemelajarannya. Guru bukanlah subyek pelaku, melainkan sekedar obyek yang diposisikan sebagai pelaksana.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan memungkinkan guru mengembangkan diri secara maksimal sebab di dalam konsep kurikulum ini, guru diharuskan merencanakan dan menyusun kurikulum yang nantinya dijadikan sebagai kerangka dasar pemelajarannya. Dengan langkah seperti ini, maka program pemerintah untuk sertifikasi dan profesionalisasi dapat diwujudkan dengan benar. Dengan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan ini, maka guru dipaksa untuk memposisikan diri sebagai subyek pengelola proses pendidikan secara utuh. Guru harus dapat mengembangkan potensi dirinya untuk menunjukkan profesionalismenya.
KTSP memang memposisikan guru sebagai subyek pengelola proses pem-belajaran sehingga guru harus dapat merencanakan, menyusun dan menerapkan kerangka pemelajarannya. Dengan demikian, maka upaya peningkatkan kualitas guru dapat tercapai dan selanjutnya hal tersebut mampu membawa kualitas anak didik. Bagaimana-pun, seorang guru harus dapat merencanakan, menyu-sun dan selanjutnya menerapkan konsep-konsep pemelajaran yang ada dalam kerangka kurikulumnya. Jika guru dapat melaksanakan semua langkah tersebut, perencanaan, penyusunan dan penerapannya, maka berarti guru sudah men-capai kompetensi yang memadai sebagai seorang guru. Tentu saja dalam hal ini, perlu diberikan evaluasi yang melekat sehingga KTSP yang disusun benar-benar merupakan hasil pengembangan diri sang guru, dan bukan sekedar copy paste dari KTSP milik orang lain atau master KTSP dari pusat.
Sertifikasi untuk menciptakan Guru Efektif
Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) menuntut penyesuaian kondisi dari seluruh elemen terkait dalam pengelolaan sumber daya manusia, termasuk dalam hal ini adalah dunia pendidikan. Hal ini berkait dengan ke-nyataan bahwa dunia pendidikan merupakan aspek penentu keberhasilan peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut. Dunia pendidikan mem-berikan kesempatan kepada kita untuk mendapatkan tambahan pengetahuan, keterampilan dan pola kehidupan positif sehingga mampu memberikan kontri-busi maksimal bagi setiap perkembangan kehidupan.
Sementara kita menyadari bahwa selama ini kondisi dunia pendidikan kita sedang mengalami sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan, walaupun ada beberapa yang membahagiakan. Tetapi, meskipun ada bagian dunia pendidikan yang sebenarnya menggembirakan, misalnya adanya anak-anak yang berprestasi hingga tingkat internasional, tetapi karena kondisi kebanyakan adalah menurunnya kualitas hasil pendidikan, maka secara umum kondisi dunia pendidikan-pun dikatakan terpuruk. Sebaik-baiknya kondisi yang kita miliki, jika ada sebagian saja yang buruk, maka secara keseluruhan keburukan tersebut mengkontaminasi kondisi yang baik tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang biasa, bahwa selalu ada orang yang mengusik dan mencari-cari kelemahan di-balik kekuatan kita. Jika kita tidak mampu mengatasi hal tersebut, maka kita dapat tersungkur oleh respon kita terhadap kondisi tersebut. Di dalam kehidupan kita ini lebih banyak orang-orang yang licik dan picik daripada orang-orang yang cerdik dan cendekia terhadap sikap dan sifat dirinya.
Dunia pendidikan yang selama ini kita kenal sebagai institusi yang me-ngembangkan nilai-nilai positif kehidupan dalam sebuah skope yang kecil tetapi berskala besar memang merupakan lahan terbaik untuk melakukan berbagai maneuver kehidupan, khususnya pemikatan hati masyarakat ataupun pengkon-disian masyarakat, sehingga jika terjadi kondisi yang kurang berkenan, maka secara serentak, semua orang dari berbagai lapisan dalam masyarakat mem-mereka memberikan komentar, yang rata-rata adalah komentar miring yang cenderung memojokkan dunia pendidikan. Dunia pendidikan seakan-akan ingin dibelenjeti hingga terlihat tulang belulangnya yang sudah tidak putih lagi!
Dan, agar kondisi tersebut tidak terus menerus menerpa dunia pendidik-an, khususnya pada para guru yang sudah berusaha sekuat tenaga memberikan pembelajaran sebagaimana potensi maksimal yang ada di dalam dirinya, dapat bernafas lega dan sedikit bergerak lepas, maka peningkatan kualitas guru dan peningkatan kondisi kesejahteraan guru perlu mendapatkan perhatian yang maksimal juga. Guru juga perlu mendapatkan perhatian, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan hidupnya sebagai pekerja profesional yang ber-tanggungjawab atas peningkatan kualitas kehidupan sumber daya manusia yang menjadi penanggungjawab kesejahteraan hidup bangsa yang besar ini. Guru harus ditingkatkan pola kesejahteraan hidupnya agar dapat memberikan peng-abdian yang maksimal dan totalitas pada dunia pendidikan.. Jika tidak, maka jangan salahkan adanya beberapa guru yang terpaksa harus ngobyek dengan pekerjaan lainnya atau nyambi mengajar di beberapa sekolah sekaligus.
Setelah melalui berbagai langkah, maka selanjutnya dimunculkan sebuah wacana yang sangat membahagiakan para guru sehingga sedikit memacu andrenalin untuk meningkatkan pola kerja yang selama ini telah dijalankan oleh para guru. Dengan dimunculkannya wacana tentang sertifikasi yang berkelanjut-an dengan adanya kompensasi untuk guru-guru yang telah menjalani proses sertifikasi dan dianggap mempunyai kelayakan bagi proses pembelajaran yang dijalankannya, maka hal tersebut benar-benar mampu meningkatkan semangat juang guru untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan ekonominya. Banyak guru yang berlomba untuuk dapat masuk dalam proses sertifikasi sehingga diharapkan ada tambahan pemasukan bagi ekonomi keluarganya. Berbagai cara ditempuh agar proses sertifikasi yang diikutinya mendapatkan pengakuan dan kepadanya diberikan hak atau insentif untuk sertifikasi profesi-onalismenya. Salah satu langkah yang ditempuh adalah menempuh sekolah lagi dan mengikuti program sertifikasi untuk peningkatan kualitas kehidupan ekonomi sosialnya.
Hubungan Sertifikasi dengan Guru Efektif
Sebenarnya, jika kita berkenan memikirkan hal-hal berkaitan dengan pola pembelajaran yang dapat memberikan materi pembelajaran secara maksimal, maka yang terpenting adalah bahwa kita harus mampu bersikap efektif dalam menjalankan tugas pembelajaran. bersikap efektif yang kita maksudkan dalam hal ini adalah pola pemikiran yang cenderung lebih mengutamakan proses peningkatan kualitas proses daripada hasil pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, selain hasil proses yang kita harapkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, kita juga perlu memperhatikan efektivitas dari proses yang dijalankan oleh guru. Bahwa dengan kondisi terbaik, yaitu efektivitas yang tinggi, maka keterlaksanaan dan ketercapaian sebuah program sangatlah mungkin sehingga angka keberhasilan menjadi meningkat dan kualitas manusia menjadi lebih baik lagi. Efektivitas memang merupakan sebuah kondisi yang lebih menekankan pada upaya untuk menggapai hasil maksimal dari sebuah proses, khususnya dalam hal ini adalah proses pendidikan anak didik. Proses pendidikan yang efektif berarti bahwa di dalam melaksana-kan proses pendidikan, maka seorang guru harus dapat mempergunakan segala hal berkaitan dengan proses pendidikan secara maksimal sehingga dapat menunjang keberhasiland alam proses pembelajaran.
Sertifikasi terhadap profesi guru sebenarnya bertujuan untuk menentukan kelayakan seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas keguruan atau kepen-didikan. Sertifikasi adalah penilaian yang kita berikan kepada seorang guru terhadap pola penerapan berbagai strategi pembelajaran, pengelolaan kelas, penerapan evaluasi komprehensif terhadap kemampuan anak didik, dan pengayaan terhadap kondisi-kondisi kritis dari anak didik sehingga proses pembelajaran yang dijalani anak didik benar-benar merupakan proses pendidikan yang tuntas. Dengan sertifikasi ini, maka profesi guru bakal mencapai tingkat kualitas maksimal dan citranya terangkat lagi seiring dengan meningkatnya kualitas hasil proses pendidikan yang dijalankannya.
Sebenarnya, dengan adanya sertifikasi guru berarti pemerintah telah menganggap bahwa kelayakan seorang guru dalam mengemban tugas sebagai pendidik sangatlah perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan tugas dan ke-wajibannya sehingga hasil proses pembelajaran dan pendidikan benar-benar dapat maksimal. Sertifikasi ini merupakan bentuk tuntutan yang harus dikon-disikan oleh semua guru berkaitan dengan program peningkatan kualitas hasil proses pendidikan dan pembelajaran. hal ini berdasarkan pada anggapan bahwa sebenarnya baik dan buruknya hasil dari sebuah pekerjaan tergantung pada yang mengerjakannya. Ibaratnya sebuah patung, baik buruknya tergantung pada tingkat kepandaian dan keterampilan sang pematung. Semakin pintar dan te-rampil seorang pematung, maka sudah barang tentu, hasil pahatan dan ukiran yang dilakukan adalah yang terbaik. Hal ini karena sang pematung mengefektif-kan seluruh potensi yang ada di dalam dirinya secara maksimal. Sang pematung mengerjakan seluruh pekerjaannya secara tuntas. Mereka benar-benar lebur dengan pekerjaannya sehingga tidak hanya keterampilan, pengetahuan yang diterapkan dalam pekerjaan tersebut, tetapi perasaan, jiwa sang pematung juga ikut lebur dalam pekerjaan tersebut.
Demikian juga yang diharapkan dalam dunia pendidikan kita yang selalu saja disorot sebagai institusi yang mengalami kegagalan proses. Dengan sertifikasi ini, maka diharapkan adanya peleburan diri guru secara utuh dalam pekerjaannya yaitu proses pendidikan dan pembelajaran anak didik. Jika seorang guru dapat menerapkan konsep peleburan tuntas segala potensi diri ini berarti guru tersebut sudah melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran secara efektif. Dan selanjutnya kondisi tersebut dikenal sebagai guru professi-onal.
Tetapi, pada kenyataannya untuk memikat guru agar melaksanakan tugas pendidikan dan pembelajaran secara efektif tidak dapat begitu saja dilakukan, tidak semudah membalik telapak tangan. Hal ini terjadi karena masih banyak guru yang berpikiran tradisional dan tidak perfectionis dalam menerapkan konsep pendidikannya. Mereka melaksanakan tugas pendidikan dan pembel-ajarannya asal jalan saja. Tidak sedikitpun upaya untuk meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pembelajarannya dengan menerapkan konsep-konsep pembelajaran yang progresif ataupun yang layak terap untuk kondisi anak didik sekarang ini.
Dan, sertifikasi telah menjadi menara api bagi seluruh guru sehingga secara langsung mereka menanggapinya dengan berbondong-bondong men-dekat pada menara api untuk mendapatkan kehangatan atau sedikit cahaya untuk menunjang kehidupan di masa depannya. Hal ini karena dari program sertifikasi ini ada disertakan embel-embel insentif atau tunjangan professional bagi yang dinyatakan lulus dalam seleksi sertifikasi. Embel-embel inilah yang selanjutnya menjadi daya tarik tersendiri bagi para guru sehingga untuk me-menuhi segala perangkat untuk dapat mengikuti dan dinilai layak pada proses sertifikaksi tersebut.
Dengan demikian, walaupun secara nyata kita melihat bahwa salah satu motivasi para guru untuk mengikuti proses sertifikasi adanya embel-embel tunjangan, yang besarnya tidak tanggung-tanggung, yaitu satu kali gaji. Tun-jangan satu kali gaji sungguh sangat menggiurkan sehingga semua guru ber-usaha untuk dapat mengikuti proses sertifikasi, bagaimanapun caranya, termasuk merekayasa data sertifikasi. Tetapi, dalam konteks ini bukan masalah tersebut yang kita bahas, setidaknya kita melihat bahwa sebenarnya eksistensi program sertifikasi memang sangat berkaitan dengan efektivitas proses pembelajaran yang d ijalankan oleh para guru.
Secara umum dapat kita katakan bahwa dengan adanya proses sertifikasi guru, maka tumbuh kesadaran para guru untuk segera memperbaiki kondisi diri atau tingkat kemampuan dirinya terhadap materi pembelajaran dan meningkat-kan latar belakang pendidikannya sehingga sesuai dengan syarat utama untuk dapat mengikuti proses sertifikasi. Tetapi meskipun demikian, maka setidaknya telah tumbuh kesadaran di hati para guru untuk meningkatkan kualitas dirinya sehingga dapat memberikan porses yang lebih baik kepada anak didik dengan harapan ketercapaian tjuan pendidikan dan pembelajaran dapat lebih baik dari sebelumnya.
Hal ini dapat kita katakan bahwa dengan adanya program sertifikasi guru ini, maka (1) tumbuh kesadaran guru untuk meningkatkan kualitas dirinya, khususnya dalam ilmu dan keterampilannya., (2) tumbuh rasa bertanggung-jawab di hati guru atas proses pendidikan dan pembelajaran yang diembannya, (3) tumbuh persaingan untuk lebih cepat meningkatkan kualitas diri dibandingkan yang lainnya, (4) tumbuh upaya untuk memberikan atau melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran sebaik-baiknya sehingga memberikan point plus untuk perangkat penilaian sertifikasinya, (5) dan yang terpenting bagi semua guru dengan adanya sertifikasi adalah peningkatan kualitas kehidupan ekonominya sebab terangkatnya kesejahteraan akibat tunjangan yang didapatkan dari proses sertifikasi tersebut.
Begitulah yang terjadi sebagai akibat dari pencanangan program sertifi-kasi yang dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Harapan kita semua agar program ini benar-benar berjalan sebagaimana konsep dasar program sehingga tidak hanya merupakan program awu-awu yang pada kenyataannya hanyalah program ganti nama dari program yang sebelumnya ada, misalnya program kesetaraan yang dahulu pernah diterapkan bahkan sampai sekarang masih diterapkan, jika seorang guru telah berhasil menempuh proses pendidikan baru yang lebih tinggi dari ijazah yang dipergunakan sebagai dasar menjadi pegawai negeri, maka dapat dilakukan kesetaraan sehingga segala konsekuensi disesuaikan dengan kondisi latar belakang terakhir yang dapatkan oleh sang guru. Semoga saja, sertifikasi ini lebih banyak mengarah pada upaya efektivitas proses pendidikan dan pembelajaran agar kualitas hasil proses pendidikan dan pembelajaran benar-benar dapat dientas dari keterpurukan. Dan, tidak sekedar mengejar peningkatan kualitas finansial semata. Semoga.
Guru BP, Bukan Polisi Sekolah
Selama ini telah terjadi pembiasan persepsi peserta didik terhadap eksistensi guru BP. Guru BP dianggap sebagai polisi, jaksa atau petugas kehakiman untuk memberikan sanksi kepada peserta didik yang melakukan kesalahan. Akibatnya, peserta didik ketakutan jika berhadapan dengan guru BP. Tentunya hal ini sangat merugikan peserta didik sebab sebenarnya eksistensi guru BP adalah sebagai konselor bagi peserta didik. Guru BP adalah pendamping peserta didik pada saat menghadapi permasalahan, baik pribadi antar peserta didik atau dengan guru. Semua untuk menciptaka nkondisi yang kondusif untuk belajar
Kondisi yang kondusif diantaranya adalah tenang, tertib, mengayomi, memungkinkan peserta didik berperanserta, merangsang rasa ingin tahu, membangkitkan semangat belajar peserta didik. Dengan kondisi seperti ini, maka peserta didik dapat mengikuti proses secara maksimal.
Tetapi, hal tersebut dapat berubah ketika seorang peserta didik dipanggil guru BP. Suasana kelas yang tenang, hati yang damai tiba-tiba menjadi gelisah dan ketakutan. Setiap peserta didik menjadi terpengaruh sehingga membuyar-kan konsentrasi belajarnya.
Bahkan, ketika guru BP mengetuk pintu dan masuk ke ruang kelas, secara spontan peserta didik merasa resah dan tidak enak hati. Mereka menebak-nebak permasalahan yang telah mereka lakukan sehingga guru BP memasuki ruang kelasnya. Guru BP telah dianggap sebagai polisi yag selalu mengincar mereka yang telah melakukan kesalahan atau jaksa/hakim yang langsung memberi vonis hukuman bagi mereka yang bersalah.
Guru BP Bukanlah Polisi, Jaksa atau Hakim Sekolah
Di sekolah, penulis diberi tugas untuk menangani bimbingan dan penyuluhan pada peserta didik. Penulis harus menangani setiap permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik sehingga tidak terganggu. Setiap saat penulis selalu berhadapan dengan peserta didik yang bermasalah dan harus menyelesai-kan permasalahannya sehingga proses belajar tidak terganggu.
Dan, satu hal yang selalu penulis hadapi adalah sikap peserta didik. Ketika pemulis mencoba untuk mendekati mereka, maka mereka ketakutan. Mereka menganggap bahwa guru BP adalah polisi, jaksa atau hakim yang selalu mengawasi tingkah laku dan memberi mereka hukuman jika melakukan kesalahan. Akibatnya, penulis dijauhi oleh peserta didik. Peserta didik enggan berurusan dengan penulis (guru BP), walaupun mereka bermasalah.
Oleh karena itulah, maka penulis berinisiatif untuk mengubah pola dan strategi pengelolaan dan penanganan masalah. Penulis bertindak sebagaimana seorang pemain sepak bola. Untuk itu, penulis tidak segan-segan untuk menjemput bola. Setiap saat penulis mencoba untuk melakukan pendekatan dengan peserta didik sehingga dapat menumbuhkan keakraban.
Pendekatan yang penulis lakukan adalah memberikan pembenaran atas persepsi mereka terhadap eksistensi guru BP. Penulis mencoba meluruskan anggapan peserta didik bahwa guru BP adalah polisi, jaksa atau hakim atas mereka. Justru, guru BP adalah sahabat mereka. Guru BP adalah tempat mereka curhat dan mendapatkan solusi dan penyelesaian masalah.
Pendekatan antar personal bahkan interpersonal menjadi salah satu teknik terbaik untuk memberikan pelurusan anggapan peserta didik terhadap eksistensi guru BP. Dengan pendekatan antar personal dan interpersonal, maka peserta didik menyadari pentingnya guru BP.
Dengan menghilangkan persepsi bahwa guru BP adalah polisi, jaksa atau hakim, maka peserta didik merasakan bahwa guru BP adalah konselor bagi setiap permasalahan, guru BP adalah sahabat yang peduli pada mereka dan siap membantu menyelesaikan setiap permasalahan.
Penulis mengajak mereka berbincang, tidak secara resmi di ruang BP. Secara periodek, penulis mencoba turba (turun ke bawah) mencari keterangan mengenai permasalahan langsung dari peserta didik. Tentunya hal ini penulis lakukan secara implisit sehingga mereka tidak menyadari jika sedang ditanyai hal penting tentang teman atau diri mereka.
Berbicara dari hati ke hati
Mengajak peserta didik berbicara dari hati ke hati merupakan salah satu cara efektif yang dapat dilakukan sebagai meluruskan persepsi peserta didik terhadap eksistensi guru BP. Dengan berbicara dari hati ke hati, maka segala permasalahan dapat diselesaikan secara cepat dan tepat.
Penulis berkeyakinan bahwa pendekatan dengan berbicara dari hati ke hati memungkinkan terciptanya sebuah jalinan benang merah antara guru BP dan peserta didik yang merupakan jembatan penghubung paling efektif.
Berbicara dari hati ke hati mengisyaratkan kepada kita bahwa sebenarnya guru BP dan peserta didik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan oleh apapun. Kesatuan inilah yang diharapkan memunculkan sikap saling pengertian atas kondisi masing-masing.
Sebagai seorang guru BP, pengetahuan tentang peserta didik sangat membantu pada saat harus menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa setiap permasalahan yang muncul merupakan akumulasi dari banyak masalah sebelumnya. Permasalahan selamanya merupakan sesuatu yang sangat krusial sehingga kita tidak dapat menyelesaikan secara tuntas jika kita tidak memahami kondisi peserta didik secara tuntas.
Peserta didik adalah sosok-sosok yang sedang mencari jati diri sehingga sangat rentan terhadap permasalahan. Untuk itulah seorang guru BP harus dapat menempatkan posisi diri secara tepat dan cepat agar masalah tidak berlarut dan berkembang. Guru BP tidak boleh memposisikan diri sebagai polisi, jaksa apalagi hakim dalam menghadapi permasalahan peserta didik.
Prinsip Ekonomis dalam Pemelajaran
Proses pemelajaran dilaksanakan sebagai wujud kepedulian atas semangat usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kita sadar bahwa sumber daya manusia menjadi motor utama dalam pembangunan bangsa. Sumber daya manusia adalah pelaku utama pem-bangunan.
Untuk itulah, maka berbagai cara dilakukan oleh guru agar proses pem-belajaran dapat maksimal. Berbagai metode diterapkan agar pemelajaran ber-hasil. Tetapi setidaknya, di dalam proses pemelajaran inipun guru tetap sah jika menerapkan konsep ekonomis, yaitu memberikan sedikit tetapi dapat hasil maksimal. Dalam hal ini guru me-nerapan efektivitas kerja.
Efektivitas memang merupakan konsep dalam proses pemelajaran sehingga jatah pemelajaran untuk siswa sesuai dan tepat waktunya. Apalagi jika ternyata hasil pemelajaran sama sekali tidak mampu mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap kompetensi siswa.
Oleh karena itulah, maka sebenarnya kita tidak perlu terlalu obral materi yang sebenarnya tidak bakal dikuasai dan diterapkan siswa dalam kehidup-annya. Apalagi jika hal tersebut kita kaitkan dengan konsep pemelajaran kita sekarang, yaitu berbasis kompetensi untuk survival siswa dalam kehidupan.
Memang seharusnya materi yang diberikan kepada siswa tidak perlu terlalu muluk-muluk sebab tujuan utama kita membimbing siswa belajar di sekolah kejuruan adalah mempersiapkan siswa dengan keterampilan. Roientasi pemelajaran di sekolah kejuruan adalah pembekalan keterampilan untuk siswa.
Konsep ini terkait pada kondisi nyata di masyarakat yang membutuhkan orang-orang terampil untuk menjawab kondisi kehidupan. Masyarakat sangat-lah dinamis, sehingga dibutuhkan orang-orang yang selalu siap menghadapi kondisi masyarakatnya. Dan, orang-orang seperti ini hanyalah orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus, yaitu yang dapat menjadikannya ‘terpakai’ dalam kehidupannya.
Sementara untuk mempunyai keterampilan yang dapat terpakai, maka dalam proses kepemilikannya kita tidak terlalu menuntut banyak pada pembel-ajaran teori. Teori hanyalah penunjang bagi keterampilan yang kita inginkan. Kita perlu ingat bahwa learning by doing jauh lebih baik daripada learning by listening! Dengan learning by doing, siswa mengalami secara langsung apa yang sedang dipelajarinya sehingga pengalaman ini menjadi miliknya secara per-manen. Kita juga harus ingat bahwa jika kita mendengar, maka kita dapat lupa, tetapi jika kita melakukannya, maka kita akan selalu dapat! Sekali kita melakukan, maka pada saat dibutuhkan, kemampuan tersebut dapat muncul dan diperguna-kan lagi.
Seperti mesin foto copy yang bekerja hanya karena melihat apayang dikerjakan dan tidak melakukan aktivitas lainya, maka kemampuannya hanya sesaat itu saja sehingga jika besoknya kita ingin melakukannya, maka mesin tersebut tidak bakal dapat melakukannya. Coba kita datang ke sebuah tempat fotocopy, maka yang kita inginkan diletakkan pada sebuah kaca datar. Lantar dilihat oleh mesin tersebut dengan cahaya kuat dan keluarlah lembaran kertas dengan isi sama dengan yang dilihatnya. Tanpa ada kreasi apapun!
Seharusnya kita adalah satu unit komputer, yang pada saat dipakai, dia juga melakukan aktivitas, memproses segala hal yang dilakukan, maka pada saat kita perlukan, semua yang kita butuhkan dapat muncul kembali dan dapat digunakan lagi. Begitulah seharusnya yang kita ciptakan/kondisikan pada anak didik kita. Anak didik kita harusnya kita kondisikan untuk selalu siap meng-hadapi setiap kondisi hidupnya. Kapanpun dibutuhkan kemampuan dirinya, maka saat itu juga dapat menjawab tatangan tersebut. Dan, yang lebih baik lagi adalah bahwa kemampuan tersebut masih ditambah degan kreativitas yang lebih baik, improvisasi terhadap kondisi kemampuannya untuk menyesuaikan-nya dengan kondisi yang diminta oleh tantangan hidup tersebut.
Sedangkan jika kita belajar sambil melakukan apa yang perlu kita pelajari, jauh lebih efektif dari pada hanya menjadi pendengar setia segala penjelasan guru. Walaupun kita mengenal
Prinsip ekonomis dalam belajar
Jika kita berbicara tentang konsep ekonomis, rasanya lain di dalam proses pemelajaran. Bagaimana mungkin kita dapat berpikir untuk bertindak ekono-mis di dalam pemelajaran? Apakah dengan mengurangi jatah belajar anak didik? Atau yang lainnya?
Tentunya kita tidak boleh mengurangi jatah belajar anak didik. Jatah pemelajaran yang harus diberikan sudah disusun secara sistematis dan berke-sinambungan sehingga jika terjadi penyunatan materi, tentunya bakal berakibat serius pada masa mendatang.
“Wah, belum diajarkan!” begitu teriak para siswa jika mereka belum pernah mendengar tentang sesuatu yang ditanyakan oleh guru pada tingkatan atas atau guru yang lain. Jika hal tersebut terjadi, tentunya cukup riskan bagi masa depan anak didik.
Prinsip ekonomis yang kita maksudkan dalam konteks ini adalah dengan mengefektifkan waktu dan proses, bukan dengan mengurangi jatah materi pel-ajaran. Bahkan, dengan efektivitas pemelajaran, maka diharapkan hasil pemel-ajaran dapat maksimal.
Beberapa hal yang menunjukkan upaya ekonomisasi kegiatan pembel-ajaran ada banyak sekali. Setiap guru seharusnya mampu melaksanakannya dengan sebaik-baiknya agar proses pemelajarannya lebaih maksimal, sebagai-mana konsep ekonomis yang dimaksudkan. Langkah-langkah tersebut adalah:
a. Mengurangi kebiasaan membuang waktu
Ekonomisasi pemelajaran, misalnya dengan mengurangi kebiasaan mening-galkan kelas pada saat proses pemelajaran. Hal ini seringkali dilakukan oleh guru, dengan berbagai keperluan. Tentunya dengan mengurangi kegiatan ini, maka pemelajaran menjai lebih maksimal. Ekonomisasi pemelajaran, misalnya dengan mengurangi kebiasaan meninggalkan kelas pada saat proses pemelajaran. Hal ini seringkali dilakukan oleh guru, dengan berbagai keperluan. Tentunya dengan mengurangi kegiatan ini, maka pemelajaran menjai lebih maksimal.
Seharusnya guru benar-benar bersikap ekonomis terhadap waktu jatah pemelajarannya. Umumnya, jatah waktu kita adalah 2 (dua) jam pelajaran, yaitu 2 X 45 menit atau 90 ‘ (sembilan puluh menit). Jatah waktu ini jika kita perhitungkan dengan materi dan skenario yang sudah kita buat, tentunya pas. Tetapi kenyataannya seringkali kita mendengar ada guru yang mengata-kan materinya ketinggalan (
Jika kita telaah, maka ‘kehabisan’ waktu yang dimaksudkan oleh guru tidak lain adalah tidak diterapkannya prinsip ekonomis dalam proses pembelajar-annya. Mereka kurang mengefektifkan jatah waktu yang sudah mereka alokasikan untuk proses pemelajaran, justru dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang lainnya.
Prinsip ekonomis yang kita maksudkan dalam hal ini memang terkait dengan pengurangan penggunaan waktu yang tidak efektif. Jika guru dapat melaku-kan hal ini, maka dipastikan proses pemelajaran yang dilakukan guru benar-benar mengarah pada penyampaian materi sesuai dengan jatahnya.
Dengan mengurangi kebiasaan meninggalkan ruang kelas pada saat proses pemelajaran berlangsung, maka materi yang menjadi jatah siswa tersampai-kan secara utuh. Berarti kompetensi yang diharapkan pada siswa dapat ter-capai maksimal.
b. Melaksanakan Skenario Pemelajaran
Skenario pemelajaran adalah garis besar atau jalur yang harus dilakukan untuk proses pemelajaran. Dengan skenario ini, maka kegiatan pemelajaran dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten dengan jatah pemelajaran.
Dengan skenario ini, maka tata urutan materi pemelajaran dapat dilakukan sehingga perubahan tingkat kemampuan siswa lebih terkontrol dan memu-dahkan siswa menerima setiap perubahan materi pelajaran.
Pembelajaran adalah sebuah proses, maka dengan adanya skenario ini, maka setiap detail kegiatan yang dilakukan guru merupakan implementasi dari jatah pelajaran. Sebagai sebuah proses, maka tentunya harus ada draft yang pasti sehingga guru tidak melakukan penyimpangan saat memberikan materi pelajaran.
Prinsip ekonomis dalam pemelajaran tidak lain adalah dengan melaksanakan skenario pemelajaran secara tepat. Dengan menerapkan isi skenario yang sudah disusun oleh guru, maka tidak ada penyimpangan materi pelajaran sehingga saat akhir semester semua pengetahuan dan keterampilan tersam-paikan.
Dengan mengikuti skenario yang sudah disusun, maka konsistensi guru terjaga dan kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya penerapan prinsip ekonomis dalam pemelajaran. Dalam hal ini, kita memberikan materi pelajaran untuk anak didik sesuai dengan scenario yang disusun.
Sebagaimana umumnya sebuah scenario, maka eksistensinya merupakan tuntunan bagi proses kerja. Oleh karena itulah, maka seorang guru harus melaksanakan scenario sebaik-baiknya. Sekali lagi hal ini untuk menghindari terjadinya penyimpangan atas materi yang harus diberikan pada anak didik.
c. Guru membuat Modul Pembelajaran
Membuat modul? Duh mendengar kata membuat saja sudah sedemikian sulitnya, apalagi jika uah dibuat tersebut adalah sebuah modul atau buku paket pemelajaran.
Bukan rahasia lagi, bahwa masih cukup banyak guru yang belum terbiasa untuk menulis, walau sekedar materi untuk pemelajarannya. Kita tidak mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi sehingga kesulitan tersebut selalu saja menyelimuti para guru kita.
Modul dapat kita katakana sebagai ringkasan materi pelajaran yang kita susun berdasarkan tata urutan yang sistematis. Dengan modul ini, maka guru dapat memberikan pelajaran tanpa harus memberikan beban ekonomi pada anak didik.
Tentunya dalam hal ini, modul yang dibuat oleh guru jauh lebih murah dibandingkan buku yang ditawarkan oleh para penerbit. Dan, tingkat keterlaksanaan pemelajaran lebih baik sebab guru mengetahui tingkat ke-mampuan anak-anaknya.
Pembuatan modul pada dasarnya adalah jawaban guru atas penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada sekolah bersangkutan. Bukankah didalam kurikulum tersebut disampaikan secara implicit bahwa setiap sekolah mempunayi hak otonomi atas proses pemelajaran yang dilaksana-kannya.
Pada sisi yang lainnya, modul yang dibuat oleh guru setidaknya telah memberikan nilai plus pada guru bersangkutan sebab dalam proses sertifikasi, modul merupakan bukti karya tulis yang diperhitungkan sebagai kompetensi intelektual. Disamping itu, tidak menutup mata, dengan menulis modul, maka guru mempunyai masukan dari penggandaan modul tersebut.