Rabu, 31 Desember 2008
Hari ini di tahun baru ada pelajaran bagus
Pagi hari tadi aku benah-benar sekitar rumah. goto do depan rumah kubersihkan dari berberapa kotoran yang terjungkal disitu. pepohonan kecil rimbun yang tumbuh tidka teratur kupotong dan sebagian kutebang karena tidak sedap dipandang mata. hingga pada akhirnya lingkunganku terlihat bersih dan indah.
tapio, ketika jam 09.30 WIB, aku dan emak sangat kaget saat mendapatkan satu kondisi yang begitu rupa. Kedua ponakanku bertengkar! masalahnya sih karena saat makan ada salah satu dari mereka yang batuk, tepat di hadapan yang satunya. Mereka saling marah.
Aku sangat kerepotan saat harus melerai mereka. tapi kemudian aku berhasil.
rasanya menjadi seorang ibu, orangtua bagi kedua ponakan ini memang sangat berat, tetapi aku yakin TUhan tengah memberikan satu pelajaran bagiku dalam ekhidupan yang sangat penting. Semoga saja segalanya menjadi baik lagi!
Kamis, 04 Desember 2008
Mengatur Nafas dalam Langkah Panjang Menulis
Tetapi, kita juga perlu menyadari bahwa menulis itu dapat kita lakukan jika kondisi hati kita tenang ataupun saat tertekan. JIka kita ingin menggitai kegiatan menulis, maka semua itu harus diabaikan!
Menulis sajalah, masak kita kalah dengan kondisi, walau hanya menulis satu kata bahkan
satu huruf setiap saatnya!
Oke, kita mulai menulis saja!
Sekarang ini saja aku sedang menunggu kabar dari penerbit untuk satu knsep tulisan yang kuselesikan dalam sebulan! Kata siapa menulis ityu sulit?!
Minggu, 16 November 2008
Bukuku Telah Terbit
Ini merupakan satu bukti bahwa selama ada kemauan dan usaha, maka segala hal dapat dicapai. Demikian juga halnya dengan upaya menerbitkan buku. Setelah berlalu lalang dalam tulis menulis singkat, artikel, rasanya ada tuntutan untuk terus mengembangkan diri dengan menulis dalam nafas panjang. Dan lahirlah buku ini.
Buku ini pada dasarnya menguraikan kenyataan bahwa sekolah sebenar-benarnya bukan untuk mencari pekerjaan. Terutama di sekolah Kejuruan, Yang kita lakukan d sekolah kejuruan adalah untuk mempersiapkan diri untuk dapat bekerja, bukan mencari kerja.
Semoga buku ini mampu memberikan pencerahan ada semua pihak sehingga dapat menjadi satu wacana bersama atas kualitas pendidikan di negeri ini, khususnya pendidikan kejuruan.
Sabtu, 08 November 2008
Perlu Kedewasaan Hati
Ada banyak sikap yang muncul saat mereka menghadapi kondisi di luar diri yang tidak berkenan di hati mereka, tidak sesuai dengan kemauan diri mereka, bahkan mungkin merasa terkalahkan oleh seseorang sehingga yang muncul di permukaan sikap dan pola kehidupan adalah hal-hal negatif yang sebenarnya hanya milik anak kecil!
Padahal sebagai orang-orang dewasa, apalagi jika ternyata mempunyai latar belakang pendidikan, kualifikasi diri yang tinggi, para sarjana, ternyata pola pemikiran tidak berbeda dengan anak kecil! Wah, kapan negeri ini dapat berkembang dan terlepas dari sikap dansifat kekanak-kanakan jika ternyata para sarjananya tidak dapat bersikap dewasa saat menghadapi sesuatu masalah, atau sesuatu yang mereka anggap sebagai masalah, walau sebenarnya bukan masalah!
Jumat, 12 September 2008
Koruptor tirulah murid ku yang satu ini
Coba seandainnya para DPR terhormat,pejabat yang suka korupsi memiliki hati mulia seperti satu muridku ini,tentu Indonesia makmur dan rakyatnya sejahtera.
Ternyata belajar memiliki hati nurani tidak perlu muluk-muluk dan pergi jauh,apalagi ke dukun,dari seorang anak seperti Budiman dapat memberi contoh nyata.
Happy Day........
Yach...semoga setelah hari ini aku tetap dan terus bermimpi yang positif untuk melahirkan karya yang lainnya, sekaligus melahirkan anak-anak ku kelak dengan bahagia menjadi mimpi yang terus dan harus diperjuangkan.Ok, semoga aku mampu bangkit dan terus dapat berkarya,
Minggu, 31 Agustus 2008
Pentingnya Interaksi Dalam Peningkatan Hasil Proses Pembelajaran
Sebagai seorang guru, maka perlu menguasai beberapa metode pening-katan kualitas ini jika menginginkan keberhasilan dalam proses pemelajaran yang dibimbingnya. Tanpa kemampuan penguasaan terhadap metode pening-katan kualitas ini, maka anak didik tidak dapat termotivasi untuk hal tersebut. Apalah artinya proses pemelajaran jika tidak ada motivasi untuk belajar?
Untuk itulah, maka seorang guru sangat penting menguasai beberapa metode peningkatan kualitas tersebut. Beberapa metode interaksi tersebut adalah:
a. Interaksi edukasi yang baik
Untuk dapat menyelenggarakan proses pemelajaran yang efektif, maka guru harus dapat menciptakan sebuah hubungan atau interaksi baik dengan siswanya. Dengan interaksi yang baik, maka proses pembimbing siswa untuk mengikuti dan selanjutnya menguasai materi pelajaran yang diberikan dapat maksimal.
Interaksi edukasi menjadi tuntutan utama bagi proses pemelajaran yang dibimbing oleh guru. Dengan interaksi edukasi ini, maka terjadi komunikasi dua arah antara guru sebagai fasilitator pemelajaran dan siswa se-bagai subyek belajarnya.
Keberhasilan proses pembelajaran pada dasarnya tergantung pada situasi yang tercipta atau diciptakan di atara pembelajar dan pelajar atau pedidik dan pendidiknya. Hal ini terkait dengan konsep dasar pembel-ajaran yang sangat membutuhkan sebuah kondisi yang kondusif. Dan, kondisi kondusif dapat tercipta jika diantara kedua pihak mempunyai persepsi yangs ama terhadap tujuan proses yang mereka jalani. Jika tidak, tentunya kondisi tersebut hanya kamuflase atas tujuan semu semata.
Tanpa interaksi edukasi yang baik, tentunya akan terjadi pereka-yasaan sikap terhadap proses yang mereka lakukan. Dan, jika telah terjadi perekayasaan tentunya hal tersebut sudah merupakan pratanda kondisi negatif.
Untuk mencapai keberhasilan di dalam proses pembelajaran, maka seorang guru harus mampu menerapkan metode interaksi edukasi yang sesuai dengan kondisi saat proses berlangsung. Dan, interaksi edukasi merupakan prasyarat agar tercipta sebuah komunikasi dua arah yang selanjutnya memberikan pengalaman belajar maksimal bagi anak didik.
Peningkatan kualitas hasil proses pembelajaran memang ter-gantung pada sikap para pelaku pembelajaran, pembelajar dan pelajar pada saat meng-ikuti proses pembelajarannya. Hal ini karena pada prinsipnya proses pembelajaran merupakan interaksi antar dua orang atu lebih untuk melakukan perubahan tersistematis pada satu sisi, yaitu anak didik. Jika tidak terjadi interaksi edukasi yang baik, tentunya proses pembelajaran tidak dapat berlangsung maksimal.
b. Interaksi antar personal
Di dalam proses pembelajaran terdapat dua aspek penting, yaitu guru dan anak didik. Kedua aspek ini memegang peranan penting di dalam upaya pencapaian tujuan, dimana masing-masing memposisikan diri sebagai pendidik dan pedidik. Pendidik adalah orang yang memberikan proses pendidikan dan pedidik adalah orang yang menerima atau men-jalani proses pendidikan.
Dengan memperhatikan konsep ini, maka setidaknya kita melihat adalah hubungan yang erat antara guru dan anak didik. Keduanya adalah dwi tunggal. Jika ada guru, maka pasti ada anak didik. Begitu juga sebaliknya. Apalah artinya seorang guru jika tidak ada anak didiknya. Apalah artinya proses pembelajaran anak didik jika tidak ada guru yang membimbing-nya.
Memang kita sering mendengar bahwa ada orang yang dapat belajar secara autodidak. Artinya mereka belajar sendiri. Tetapi, benarkah mereka belajar sendiri?
Jika kita telaah, maka setidaknya ada sosok yang menjadi pusat konsen-trasi saat mereka melakukan kegiatan belajar. Sosok fiktif ataupun sekedar sosok imej yang mereka konsentrasikan sebagai pusat pemikiran dan selanjutnya berharap mendapatkan petuah dari sosok imej tersebut.
Dalam dunia pewayangan kita mengetahui ada seorang yang ingin berguru pelajaran memanah, dan dia sangat berbakat dalam hal tersebut. Sang guru yang hendak digurui melihat kenyataan tersebut. Tetapi karena sang guru sudah terikat sumpah bahwa dia tidak bakal meng-angkat murid dari luar, maka sang calon murid tidak diterima. Tetapi, sang calon murid tidak kehabisan cara. Sang guru boleh menolak keinginannya menjadi murid, tetapi tekadnya sudah bulat untuk mempel-ajari teknik memanah sehingga menguasainya.
Maka sang calon murid tersebut berlatih sendiri di sebuah hutan. Dan, sebagai pelatihnya adalah patung yang dibuat mirip dengan sang guru. Setiap saat calon murid itu berlatih sambil diawasi oleh patung guru tersebut. Bahkan patung tersebut selalu disungkemi setiap menjelang latihan dan seusai latihan. Dan, pada akhirnya kemampuan anak ini setara dengan kemampuan anak yang mendapatkan pelajaran langsung dari sang guru.
Ini adalah kegiatan pembelajaran autodidak. Sang anak belajar sendiri segala materi pelajaran yang seharusnya dipelajari. Tetapi, kita melihat bahwa komunikasi, interaksi antar personal masih saja dibutuhkan. Anak tersebut masih membutuhkan kehadiran seorang guru dan berkomuni-kasi dengan sang guru pada saat melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini membuktikan bahwa setiap proses pembelajaran membutuhkan se-buah interaksi antar personal.
Khususnya di dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, maka interaksi antar personal, guru dan anakdidik sangatlah penting agar proses pengalihan atau transfer pengetahuan, keterampilan dan sikap kepada anak didik benar- benar dapat terjadi. Dengan interaksi antar personal, maka terjadi sharing dan proses peralihan kemampuan. Bukan kah proses pembelajaran itu upaya memidahkan muatan yang lebih ke muatan yang kurang?
Seorang guru dapat dikatakan sebagai sisi yang bermuatan lebih sebab mempunyai kemampuan yang lebih daripada anak didiknya dan anak didik adalah sisi yang bermuatan kurang. Jika kita melakukan proses pembelajaran berarti kran penghubung antara sisi guru dan sisi anak didik harus dibuka sehingga terjadilah aliran pengetahuan, keterampilan dan nilai sikap dari guru ke anak didik. Inilah yang kita maksudkan seba gai interaksi antar personal.
Peningkatan kualitas pembelajaran dapat kita capai jika interaksi antar personal tercipta secara baik dan kondusif. Guru dan anak didik harus mempunyai konsepyang sama terhadap aliran tersebut sehingga apa yang diharapkan dari proses pembelajaran benar-benar terwujudkan.
c. Interaksi intrapersonal
Bahwa peningkatan kualitas hasil proses pembelajaran pada dasarnya kembai pada visi dan misi dasar dari setiap orang yang menjalani proses pembelajaran.
Visi dan misi merupakan landasan terkuat bagi seseorang atau organisasi dalam upaya mencapai tujuan yang diprogramkan. Dengan visi dan misi ini, maka terlihat jelas hal yang harus dilakukan sehingga perjalanan dapat terarah, tidak terjadi pembiasan apalagi penyimpangan dari konsep dasar yang diharapkan dapat dicapai.
Oleh karena itulah, maka di dalam upaya mencapai peningkatan kualitas hasil pembelajaran, maka harus ada komunikasi intern, komunikasi terhadap diri masing-masing. Langkah ini adalah introspeksi terhadap segala yang akan dan telah dilakukan dalam upaya pencapaian tujuan. Introspeksi ini adalah bentuk interaksi yang paling dasar dari banyak interaksi dalam kehidupan.
Setiap saat kita harus berinteraksi dengan diri kita sendiri. Kita ber-komunikasi dengan diri kita tentang berbagai hal yang telah dan akan dilakukan.
Pada saat kita akan melakukan sesuatu, maka kita selalu bertanya pada diri kita tentang segala hal terkait dengan harapan kita. Kita bertanya pada diri kita tentang kemampuan kita melaksanakan kegiatan tersebut. Kita bertanya pada diri kita tentang isi positif dan negatifnya untuk diri kita jika kita melakukan kegiatan tersebut. Ini merupakan introspeksi prakerja, langkah antisipasi yang selalu dilakukan sebagai pertimbangan agar tidak mengalami hal negatif yang merugikan diri dan kehidupan di masa depan.
Selanjutnya, pada saat kita selesai melakukan kegiatan, maka kita bertanya pada diri kita tentang berbagai hal terkait dengan tingkat keberhasilan dan kegagalan dari kegiatan tersebut. Kemudian diputuskan langkah lanjut dari kegiatan tersebut. Jika berhasil, apa yang harus dilakukan dan selanjutnya jika gagal, maka apa yang dilakukan agar tidak terulang dan ditentukan langkah perbaikan dan seterusnya.
Di dalam proses pembelajaran, interaksi intrapersonal sangat penting terkait dengan kesiapan kondisi di dalam diri masing-masing pelaku pembelajaran, pembelajaran dan pelajar. Kedua aspek ini harus mampu melakukan interaksi intrapersonal sehingga tumbuh kesadaran di diri tentang hak kewajiban dan tugasnya di dalam proses pembelajaran.
Dengan meningkatkan interaksi intrapersonal, maka pendidik maupun pedidik menyadari bahwa di dalam proses pembelajaran, mereka mem-punyai tugas masing-masing dan adanya keterkaitan sehingga harus berinteraksi.
Berinteraksi intrapersonal artinya kita melakukan kuminikasi dengan diri kita sendiri terhadap segala hal, khususnya yang terkait dengan kegiatan pembelajaran kita. Ini merupakan introspeksi pada kondisi diri.
Jika kita berhasil melakukan interaksi intrapersonal, maka tentuanya diharapkan tumbuhnya kesadaran atas tujuan mengiuti proses pembel-ajaran.
Dengan melakukan interaksi intrapersonal, maka guru ataupun anak didik dapat mengetahui tingkat kemampuan dirinya terhadap aspek yang sedang mereka pelajari.
Kesadaran atas kemampuan, kompetensi diri inilah yang sebenarnya diharapkan dari proses interaksi intrapersonal ini. Jika setiap aspek mempunyai kesadaran atas kemampuannya, maka proses dapat berlangsung maksimal dan pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas hasil proses pembelajaran.
Setiap proses dapat berjalan baik dan berhasil mencapai hasil maksimal jika para pelaku enyadari kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan tujuan proses. kesadaran inilah yang sebenarnya dasar darikeberhasilan proses pembelajaran.
Sebagai pelaku pembelajaran, maka guru dan anak didik diharapkan melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, maksimalitas hasil roses didasari oleh kemampuan maksimal di masing-masing pihak, guru dan anak didik.
Interaksi atau hubungan timbal balik antara dua atu lebih aspek di dalam suatu kegiatan sangat penting di dalam segala hal. Dengan interaksi tersebut, maka tercipta komunikasi lateral yang sangat bermanfaat bagi kehidupan sesama.
Khususnya di dalam proses pendidikan dan pembelajaran, interaksi menjadi jembatan penghubung terciptanya komunikasi yang membawa pada peningkatan kualitas hasil proses pembelajaran.
Dunia pendidikan yang selama ini dianggap terpuruk, sudah waktunya untuk bangkit kembali. Dan, peningkatan tersebut merupakan implikasi dari proses pembelajaran yang berkualitas. Pembelajaran yang kita lakukan merupakan salah satu proses pendidikan secara keseluruhan mencoba untuk segera memperbaiki kondisi, kualitas pendidikan yang selama ini menjadi pekerjaan rumah dan belum selesai dikerjakan oleh kita semua.
Dan, kita sebagai pelaku pendidikan sudah sewajarnya menyamakan langkah, persepsi dan visi serta misi sehingga tekad untuk meningkatkan kuaitas hasil proses pembelajaran benar-benar suatu kenyataan. Langkah yang kita lakukan merupakan implementasi dari visi dan misi yang harus kita capai.
Dan, proses pembelajaran melibatkan banyak aspek dan pihak sehingga harus ada interaksi diantara semua aspek agar dapat mencapai tujuan yang sudah dicanangkan. Interaksi ini sangat penting mengingat kita adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu bergantung pada yang lainnya.
Kita adalah makhluk yang selalu berhubungan dengan yang lainnya agar dapat hidup dengan nyaman dan tenang. Dengan kenyamanan dan ketenangan inilah, maka pelaku pembelajaran dapat melakukan proses pembelajaran dengan baik.
Dari penjelasan yang telah diuraikan di depan, maka setidaknya kita mulai menyadari bahwa agar proses pembelajaran dapat efektif dan berhasil maksimal, maka perlu dbina berbagai bentuk interaksi antara pelaku pembelajaran. Interaksi di dalam proses pembelajaran tidak hanya berlangsung saat proses pembelajaran, melainkan terjadi dalam segala waktu dan kondisi.
Setidaknya kita perlu menyadari bahwa hubungan antara guru dan anak didik didalam proses pembelajaran adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri lagi. Upaya meningkatkan kualitas pembelajaran harus diawali dengan kondisi interaksi yang baik dan mendukung proses pembelajaran itu sendiri.
Seorang guru harus mampu membimbing anak didiknya sehingga tercipta interaksi yang baik di dalam proses pembelajaran, baik antar personal, intra personal, maupun interaksi edukasinya.
Komunikasi guru –anak didik menjadi tolok ukur keberhasilan proses. Jika kita memang berkeinginan untuk meningkatkan kualitas hasil pem-belajaran kualitas komuikasi harus ditingkatkan secara signifikan. Selama ini yang menjadi masalah adalah buruknya kualitas komunikasi antara guru – anak didik, pribadi dengan dirinya sendiri dan komunikasi pada saat proses pembelajaran.
Proses pembelajaran terjadi karena adanya proses transfer dan proses transfer adalah bentuk dari komunikasi aktif yang menyebabkan adanya perpindahan kondisi sehingga kondisi seseorang mengalami perubahan positif seperti yang diharapkan.
Maka, untuk dapat melakukan perubahan terhadap hasil proses pembel-ajarannya, seorang guru harus mampu membangkitkan kondisi interaksi guru – anak didik, anak didik – anak didik di dalam kelas pembelajaran-nya.
d. Interaksi transpersonal
Interaksi transpersonal mengutamakan proses saling silang antar personal secara lebih luas. Dengan demikian setiap personal yang berada di dalam proses pembelajaran berpotensi untuk menciptakan suatu koneksi tanpa ada batasannya.
Di dalam proses pembelajaran, ada komunitas yang mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu melakukan proses agar terjadi transfer and receive secara timbal balik. Guru memberikan bimbingan kepada anak didik dalam proses belajar dan anak didik menerima materi yang diberikan oleh guru. Take and give adalah konsep dasar yang menyebabkan terjadinya proses pembelajaran di kelas belajar. Tanpa adanya take and give, maka proses pembelajaran berubah menjadi sebagai doktrinasi konsep yang tentunya menyimpang dari konsep dasar pembelajaran.
Konsep take and give memungkinkan terjadinya interaksi mutualisme yang mampu meningkatkan kualitas hasil proses pembelajaran. Dengan take and give masing-amsing pelaku interaksi dapat mengembangkan diri dengan memberi dan menerima informasi yang ada.
Interaksi transpersonal secara bebas emberikan kemudahan bagi masing-masing pihak terhadap proses transfer kompetensi yang dimiliki. Kondisi ini diyakini dapat berpotensi sebagai penumbuh dan pengembang kompetensi yang sudah dimiliki masing-masing.
Bahwa kita tidak dapat hidup sendiri sebab sebagai makhluk social, maka eksistensi orang lain di dalam diri merupakan suatu keniscayaan. Kita tidak dapat eksis tanpa eksistensi orang lain. Kita hidup saling me-lengkapi. Nonsense, jika ada orang bilang dapat hidup sendiri. Tidak membutuhkan orang lain. Bagaimana mungkin dapat memenuhi ke-butuhan hidup secara keseluruhan. Sendirian?! Nonsens!
Terkait dengan proses pembelajaran, dua aspek utama, guru dan anak didik merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Mereka adalah team activity. Ada yang belajar, maka ada yang mengajar.
Sebagai team activity, maka eksistensi proses selalu terkait dengan interaksi transpersonal yang mutualisme. Anak didik menerima informasi yang bermutu dari guru dan memberikan pola situasi belajar yang bermutu pula. Bahwa sebenarnya kebermutuan proses pembelajaran sangat ditentukan oleh pola belajar yang diterapkan oleh anak didik. Guru hanya memfasilitasi proses yang dilakukan oleh anak didik. Tetapi sebagai team activity, maka guru dituntut untuk dapat memfasilitasi proses pembelajaran secara utuh.
Jika kita ingin meningkatkan hasil proses pembelajaran yang kita laksana-kan, maka konsep interaksi transpersonal dengan mengutamakan proses take and give harus kita terapkan secara baik dan benar serta dikondisikan sebagai situasi pembelajaran yang terstruktur secara sistematis dan sistemik.
Untuk mencapai kondisi tersebut, maka perlu adanya keseragaman, kesamaan langkah pada pengelolaan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Begitulah pentingnya interaksi edukasi dalam bentuk take and give dalam proses transformasi kemampuan untuk mencapai keberhasilan dalam pencapaian tujuan belajar. Oleh karena itulah, maka guru dan anak didik harus memahami dan menerapkannya dengan sebaik-baiknya.
Anak didik mengambil (take) dan guru memberi (give) sehingga peng-aliran kompetensi benar-benar dapat dicapai. Begitulah sesungguhnya yang hendak kita inginkan pada proses pembelajaran.
Dan, interaksi di dalam proses pmerupakan langkah konkrit yang seharusnya dilakukan oleh guru dan anak didik agar tercapai efektivitas maksimal.
Proses pembelajaran tidak akan berhasil jika tidak ada interaksi efektif di dalam proses pembelajaran. Oleh karena itulah, maka kita harus mengkondisikan proses pembelajaran dengan menciptakan interaksi efektif di kelas pembelajaran.
Di dalam proses pembelajaran kita memang dituntut untuk dapat mewujudkan keberhasilan maksimal. Hal ini terkait dengan posisi guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran sehingga untuk hal tersebut seorang guru harus dapat melakukan proses secara efektif.
Dan, salah satu langkah konkrit untuk mencapai kondisi tersebut adalah dengan menciptakan suatu komunikasi efektif di dalam proses belajar. Komunikasi efektif yang kita maksudkan disini dapat tercipta maksimal jika kondisi interaksi pembelajaran dapat terkondisikan secara baik.
Sabtu, 16 Agustus 2008
Pembunuhan Pasif menjadi Fenomena
Bahkan, sekiranya boleh diperumpamakan, nyawa manusia atau mungkin manusia sudah dianggap tidak lebih dari binatang, yang sebegitu mudah untuk ‘dijagal’ atau diperdagangkan secara bebas! Nyawa hanyalah bahan permainan yang setelah tidak diperlukan, maka dapat dibuang begitu saja!
Rasanya sekarang ini sudah begitu murah dan mudahnya merampas nyawa manusia. Hal tersebut dapat kita lihat, baca bahkan kita temukan setiap hari melalui media massa. Bahkan, tidak jarang media massa begitu vulgar di dalam pemberitaannya, seringkali over, berlebih sehingga menjadi komoditi tontonan yang dianggap mengasyikkan bagi masyarakat luas.
Sejak kita bangun di pagi hari, kita sudah mendengar berita tentang hal-hal seperti itu. Sungguh!
Sebenarnya apa yang sedang terjadi dan dialami oleh manusia jaman sekarang ini? Apakah sebegitu bergesernya nilai-nilai kemanusiaan sehingga pola kehidupan jahilliah muncul lagi kepermukaan dan menjadi gaya hidup, khususnya pada saat harus menyelesaikan permasalahan hidup?!
Pemikiran sehat sudah terkalahkan oleh kegelapan yang terbentang dalam segala hal! Mungkin pembunuhan seperti ini merupakan hal-hal yang terwujudkan secara jelas. Begitu saja kita sudah begitu merinding jika harus membayangkan, betapa kesakitan dan rasa tidak rela disampaikan para korban kepada pelaku ‘penjagalan’. Siapa yang rela nyawanya diambil paksa oleh yang lainnya?! Bahkan binatang saja meronta saat hendak dibantai di penjagalan! Cacigng saja menggeliat saat terancam oleh injakan kaki atau atau sekedar dipegang.
Duh! Manusia sekarang begitu ganasnya. Nilai-nilai kemanusiaan sudah menghilang dari kehidupan dan nurani manusia. Entah, apakah ini sebagai akibat himpitan masalah hidup yang semakin kuat ataukah sebuah ‘kesenangan’ semata?? Kesenangan yang harus dibayar mahal dengan melayangnya nyawa yang lainnya!
Kejadian ini tentunya sangat mencekam hati setiap orang. Jangankan melihat tampilan berita kematian seperti ini, dibantai, dijagal, sedangkan mendengar orang mati tanpa sebab saja kita seringkali merasa merinding. Jika kita mendengar seseorang yang meninggal, sedangkan kemarinnya masih bersama kita saja kita merasa takut, apalagi mendengar orang dibantai seperti itu.
Bagaimana-pun pembunuhan memang merupakan satu sikap atau pola kelakuan yang tidak boleh dilakukan sembarangan, apalagi sesama manusia. Hal itu menunjukkan bahwa kita telah kehilangan rasa dan naluri kemanusiaan yang selama ini menjadi panutan hidup kita.
Walaupun kita menyadari bahwa sangat banyak orang yang menjadi pembunuh bagi orang lain. Ya. Kita semua sebenarnya adalah para pembunuh yang seringkali tidak menggunakan nalar saat harus membunuh orang lain!
Coba kita pikirkan kembali, ingat kembali beberapa hari ke belakang dan koreksi apa saja yang telah kita lakukan, baik secara verbal maupun perbuatan. Dari semua itu, coba kita klasifikasikan, kelompokkan hal-hal tersebut dalam kategori positif dan negatif!
Berapa banyak perbuatan kita yang masuk dalam kelompok positif? Berapa banyak kegiatan kita yang masuk dalam kelompok negatif? Dari klasifikasi tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa ada perbuatan yang mengangkat dan ada perbuatan yang menjatuhkan orang lain.
Perbuatan yang mengangkat mempunyai dampak positif bagi kehidupan seseorang sehingga dengan perbuatan yang kita berikan terhadap orang lan, maka tumbuh dan berkembang kesadaran pada orang tersebut untuk mengikuti apa yang kita lakukan atau kita katakan kepada mereka.
Perbuatan yang menjatuhkan mempunyai dampak negatif pada kehidup-an seseorang sehingga dengan perbuatan yang kita lakukan terhadap orang ter-sebut, maka tumbuh dan berkembang sikap antitese, bertentangan dengan kondisi yang diharapkan oleh semuanya.
Selanjutnya perbuatan negatif yang kita berikan kepada seseorang me-micu jatuhnya perasaan dan kepercayaan diri seseorang sehingga sangat berpotensi untuk terjadinya pembunuhan terhadap segala kemampuan yang dimiliki oleh seseorang.
Ya. Saat sekarang ini sangat banyak orang yang secara tidak sadar telah menjadi pembunuh pasif. Yaitu membunuh tetapi tidak membunuh secara fisik! Banyak orang yang secara tidak sadar telah melakukan perbuatan yang sangat menghalangi pertumbuhan dan perkembangan potensi diri seseorang. Hal ini terjadi sebab seseorang merasa tidak nyaman dengan segala perbuatan yang kita berikan!
Ya. Sekarang ini memang sangat banyak orang yang menjadi pembunuh, walaupun tidak mengakui sebagai pembunuh. Siapa sih yang mau mengakui perbuatan negatifnya? Kalau hal seperti itu ada, tentunya sudah penuh isi LAPAS. Tetapi, pembunuh pasif tidak akan dapat kita tengarai, deteksi secara cepat dan tepat sebab proses pembunuhan yang dilakukan adalah merupakan sebuah evolusi, perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan. Pelan tetapi pasti!
Pembunuh pasif yang kita maksudkan dalam hal ini adalah pembunuh yang secara tidak langsung menjadi penyebab ‘terbunuhnya’ seseorang dalam kehidupannya. Cukup banyak orang yang telah mati di dalam kehidupannya. Mereka tidak mempunyai semangat hidup, sebagaimana syarat hidup yang ideal! Semangat hidup mereka telah tertusuk oleh perbuatan yang tanpa sadar telah dilakukan oleh seseorang, kita, atasan, atau kolega hidup.
Ada banyak teknik pembunuhan pasif yang dilakukan oleh banyak orang yang pada akhirnya benar-benar menjadikan seseorang menjadi ‘tidak hidup’ di dalam kehidupannya. Ya, banyak orang yang telah ‘mati’ walaupun mereka masih hidup.
Di kantor, di tempat-tempat umum atau scara keseluruhan tempat, seringkali kita mendapati para pimpinan atau orang-orang yang merasa lebih kuat posisinya, yang melakukan pembunuhan terhadap bawahannya atau orang - orang yang dekat dengan mereka. Orang-orang berkuasa ini dengan seenaknya melakukan tindakan - tindakan yang ternyata berpotensi untuk membunuh bawahannya.
Beberapa kegiatan yang berpotensi menjadi alat untuk membunuh secara pasif bagi orang-orang adalah:
a. Kata-kata yang kasar
Kata-kata kasar merupakan alat pembunuh pasif yang sangat efektif untuk mematikan seseorang dalam kehidupannya. Dengan kata-kata yang kasar, maka menjadikan karakter seseorang menjadi down dan akhirnya menjadi-kan seseorang malas untuk melakukan sesuatu karena takut dikasari melalui kata-kata.
Kejadian ini sering kita alami, bahkan kita lakukan pada orang-orang di sekitar kita. Mereka begitu gampangnya mengumbar kata-kata kasar untuk orang-orang lain, khususnya yang dianggap tingkatannya ada di bawah kita. Mereka mengeluarkan kata-kata kasar sebagai bentuk pelampiasan emosi tak terkendali atau sekedar ingin pamer force pada orang lain untuk mengingat-kan posisi mereka terhadap orang lain.
Kata-kata kasar itu pada dasarnya merupakan belati tajam yang langsung dihunjamkan ke ulu hati! Ya. Kata-kata kasar itu bahkan jauh lebih tajam dari belati yang setiap hari kita pergunakan untuk keperluan hidup.
Orang bilang bahwa lidah lebih tajam dari pedang! Memang benar perum-pamaan yang berlaku di dalam kehidupan kita selama ini. Maka tidak aneh jika kita selalu diarahkan untuk dapat menjaga lisan kita, lidah kita. Orang Jawa bahkan mempunyai falsafah yang sangat bagus yang bunyinya sebagai berikut: Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana! Artinya harga diri itu dari lidahnya, harga badan dari pakaiannya.
Lidah menjadi aspek yang terpenting di dalam kelangsungan hidup sese-orang. Jika seseorang dapat menjaga lidahnya, maka kehidupannya juga terjaga dengan baik. Tetapi, jika lidahnya lepas, maka hidupnya-pun dapat lepas!
Kata-kata kasar yang lepas dari tarian lidah tak terkendali menjadikan sese-orang merasa begitu kecilnya sehingga segala kepercayaan diri atas kemam-puannya pupus. Kata-kata kasar menjadikan seseorang kehilangan semangat hidupnya. Mereka yang mendapatkan kata-kata kasar menjadi terjangkiti sakit minder. Dan jika seseorang minder, itu artinya sudah mati dalam hidup.
b. Perbuatan yang tidak menyenangkan
Hal kedua yang menjadikan seseorang terbunuh dalam kehidupannya ada-lah perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Perbuatan tidak menyenangkan ini sangat berpotensi terhadap ter-bunuhnya seseorang di dalam kehidupannya.
Tetapi, kenyataan seperti ini seringkali dilupakan oleh seseorang atau banyak orang sehingga pembunuhan pasif tetap saja dilakukan oleh hampir semua orang.
Ada banyak perbuatan yang tidak menyenangkan, yang setiap saat kita alami dari orang lain yang pada akhirnya menjadikan orang lain ‘mati’ dalam hidupnya. Mereka tidak mempunyai kemauan, semangat untuk melanjutkan kegiatan hidupnya sebab semangat tersebut sudah tertusuk oleh perbuatan tidak menyenangkan yang diterimanya dari pimpinan atau orang lain di tempat kerja atau tempat hidupnya.
Kejadian ini seringkali dialami oleh seseorang akibat perlakuan tidak baik dari orang lain. Hal ini terjadi sebab perlakuan tidak menyenangkan sering-kali menjadikan seseorang trauma psikis dan menyebabkan tidak mampu melakukan kegiatan, kerja yang menjadi tanggungjawab dan kewajibannya.
Jka seseorang sudah mengalami perlakuan tidak menyenangkan, maka sebagai dampaknya, di dalam dirinya muncul semacam perlawanan sebagai bentuk perlawanan diri, pertahanan diri atas stimulus negatif bagi dirinya. Hal ini menjadikan mereka merasa terancam dan wajib melakukan perlawan-an terhadap sumber stimulus tersebut.
Dengan demikian, maka dengan melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada seseorang, maka sebenarnya pada saat itu kita sudah ‘membunuh’ segala potensi yang dimliki seseorang dan mengakibatnya hilangnya se-mangat kerja/hidup. Dan, kondisi tersebut tidak lain adalah adanya pem-bunuhan terhadap eksistensi diri dalam kehidupan.
c. Penempatan/penugasan yang tidak tepat tempat/wrong place
Hal ketiga yang mempunyai potensi sebagai pembunuh pasif bagi seseorang adalah penempatan posisi yang tidak tepat tempat/wrong place. Jika sese-orang diletakkan pada posisi yang tidak sesuai dengan kemampuan dirinya, maka hal tersebut dapat menjadikan seseorang kehilangan semangat hidup dan pada akhirnya mampu menjadi alat pembunuh yang efektif.
The right man is the right place. Orang yang tepat pada tempat yang tepat! Ini merupakan sebuah pepatah yang selama ini menjadi pedoman untuk efektifitas kegiatan setiap institusi atau kelompok kerja. Artinya jika kita menempatkan orang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, maka pekerjaan yang menjadi tanggungjawab dan kewajibannya dapat diselesai-kan sesuai dengan program yang sudah disusun. Dengan demikian, maka kerja menjadi efektif. Setiap orang dapat mengeksplorasi kemampuannya secara maksimal sebab yang ditangani merupakan kemampuan dirinya.
Tetapi, jika penempatan yang tidak tepat, maka potensi terjadinya pem-bunuhan pasif terhadap seseorang sangat besar kemungkinan terjadinya. Seseorang yang berada pada posisi yang salah menjadikan seseorang tersiksa dan tidak tenang hidupnya. Mereka merasa bahwa apa yang mereka kerjakan adalah sebuah hukuman yang harus dilakukan sebagai konsekuensi atas kesalahan, yang tentunya tidak mereka ketahui, apa.
Memang, mutasi atau perguliran posisi merupakan hal yang wajar di dalam sebuah institusi atau perusahaan, tetapi jika mutasi dilakukan tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, maka hal tersebut tidak berbeda dengan pembunuhan pasif.
Jika kita berada di tempat yang tidak sesuai dengan kemampuan yang kita miliki, tentunya hal tersebut sebuah siksaan yang teramat berat. Untuk watu yang pendek, mungkin tidak menjadi masalah. Tetapi, jika hal tersebut ber-laku pada waktu yang relatif lama, maka siksaan yang dirasakan oleh sese-orang mampu menjadikannya ‘terbunuh’ ditempat kerjanya akibat posisinya yang tidak sesuai dengan kemampuan dirinya.
Dapat kita bayangkan, jika seseorang yang biasanya bergelut dengan obat, ternyata dipindahtugaskan pada bagian yang menangani mesin. Tentunya mereka tidak tenang, mereka tidak nyaman dalam bekerja. Dan, mereka jadi terbunuh!
d. Tidak adanya reward bagi prestasi seseorang
Setiap orang pada dasarnya menginginkan adanya pengakuan atas eksistensi oleh orang lain. Dengan pengakuan ini, maka dapat berinteraksi maksimal di dalam hubungan antar personal yang tercipta sebagai konsekuensi atas kehidupan bermasyarakat.
Salah satu aspek penting di dalam pengakuan eksistensi adalah pengakuaan yang diwujudkan dalam bentuk penghargaan atau reward atas berbagai hal yang sudah dilakukan untuk kehidupan ini. Dengan memberikan reward atas prestasi yang diperbuat oleh seseorang, maka hal tersebut dapat menjadi motivasi positif untuk mengembangkan diri lebih bagus.
Tetapi, jika seseorang telah menghasilkan atau melakukan sesuatu yang dapat menaikkan prestasi atau kualitas institusi tetapi tidak mendapatkan respon positif atau reward yang sesuai, tentunya hal tersebut menjadikan seseorang enggan melakukan hal yang sama untuk mendongkrak ataupun untuk membangun brand positif institusi tempatnya bekerja.
Penghargaan yang diberikan seorang pimpinan kepada anak buah yang mempunyai prestasi atau kegiatan yang mampu membawa institusi pada tingkatan yang lebih baik, tentunya membawa dampak pada sikap seseorang, secara pribadi terhadap pimpinannya. Respon pribadi ini bakal diyakini mampu menciptakan imej positif dan menjadi penyemangat anggota lainnya untuk ikut melakukan hal yang sama agar mendapatkan reward sebagai-mana teman mereka.
Tetapi, jika reward sangat sulit didapatkan dari seorang pimpinan, maka tumbuh imej di hati semua orang bahwa tidak ada manfaatnya bagi mereka untuk membuat prestasi gemilang di institusi mereka. Dan, kondisi seperti ini tidak berbeda dengan matinya institusi akibat matinya semua orang akibat pembunuhan pasif yang dilakukan oleh sang pimpinan.
Banyak pimpinan yang lupa atas kondisi seperti ini dan hanya ingat bahwa institusi harus ditumbuhkembangkan secara maksimal dan masalah reward hanyalah soal remehtemeh!
Tidak memberikan reward atas prestasi seseorang sebenarnya adalah anak panah yang langsung terlepas dari busurnya dan menancap dalam-dalam ke jantung seseorang, bahkan hatinya menjadi terluka sebab merasa sia-sia semua yang telah dilakukannya sebab tidak ada respek positif dari pimpinan. Dan, matilah kreativitas seseorang. Matilah hidupnya didalam kehidupan institusi tempatnya bekerja. Mereka telah dibunuh seseorang/pimpinan secara pasif. Pembunuhan yang tidak langsung dirasakan secara fisik, me-lainkan bersumber pada psikis.
Dan, selamanya jika kita selalu berhadapan dengan pembunuhan, maka setiap kali itu pula maka kita merasakan betapa siksaan begitu berat harus di-tanggung sedemikian rupa sehingga mempunyai kemampuan untuk meng-hancurkan kehidupan secara global.
Pembunuhan secara pasif terjadi pada semua lini kehidupan kita dan kita tidak dapat mencegahnya sebagai sesuatu yang pasti. Setiap orang mempunyai kecenderungan untuk melakukan hal yang sama, yaitu menjadi pembunuh pasif untuk orang lain.
Pembunuhan pasif merupakan pembunuhan karakter yang sebenarnya jauh lebih kejam daripada pembunuhan fisik/aktif. Pembunuhan fisik/aktif mem-berikan dampak pada orang-orang yang ditinggalkan mereka yang menjadi korban. Tetapi pembunuhan pasif akan dirasakan sang korban untuk waktu yang tidak ada yang tahu, setidaknya seumur hidup mereka bakal mengalami akibat dari pembunuhan pasif tersebut.
Jika dampak dari pembunuhan pasif ini tidak kuat ditahan oleh seseorang, maka akibat negatif yang sangat mungkin terjadi adalah kehidupan yang tidak lagi tertata. Bahkan orang dapat menjadi gila. Dan, orang gila itu sebenarnya mereka telah mati di dalam kehidupannya. Orang gila itu memang hidup, tetapi sebenarnya psikisnya sama sekali tidak hidup.
Sekali lagi, pembunuhan pasif jauh lebih kejam daripada pembunuhan fisik, yang kadangkala penderitanya tidak merasakan sakitnya, dampaknya. Tetapi, pembunuhan pasif memberikan dampak yang sangat panjang langsung pada obyek pembunuhannya!
Tetapi, antara kedua pembunuhan tersebut tetap merupakan suatu tindakan yang sangat menyedihkan, maka jangan sekalipun berkeinginan untuk menjadi pembunuh dalam kehidupan kita! Jangan jadi pembunuh!
Rabu, 06 Agustus 2008
BKSM yang belum menyentuh
DEWAN MASUK SEKOLAH
Sabtu, 02 Agustus 2008
GuRu Perlu KomPetisi Kompetensi
Ternyata CukuP baNyak orAng yang Karena Saking senanGnya mendaPatkan durian runtuh, aKibat Program InnsTan yang dikewer Oleh Pemerintah, yaitu penIngkatan kehidupan menjAdi Pegawai Negeri, Yaitu Guru NeGeri, maka Banyak OraNg yang tIba-tiBa menjadi kaum NaRsis Baru!
MeReka begitu BanggAnYa dengan keSempatan yang DiberIkan olEh pemeRintah untk menjadi Pegawai Negeri tanpa melalui perSaingan keTat sebagaImana dulunya terjadi Setiap ada PereKrutan tenaga PNs Baru, Sekarang eh cukup menjadi Guru di Sebuah SekoLah lanTas TunggU menjadi Guru Yang dimasukkan Ke DataBase, maka tinggAl nUnggu wakTu pengangkatan! SedeMikiAn mudahNyaKah?
Ini merUpakan Program Yang sangat memAnjakan dasn beraKibat pada pola kerja atau kinerJa sebab merAsa BegiTu muDah menJadi peGawaI neGeri!
PaDaHal, jiKa kiTa JujUr, seBenarnYa pendidikan bUtuh orang-Orang yang ulet danberkompeten dalam setiap kompetisi!
sudah siaPkah KiTA??
Rabu, 30 Juli 2008
Guru Sarjana tanpa kompetensi normatif? Primitif!!
Salah satu hal yang perlu dipersiapkan adalah tingkat pengetahuan, keterampilan terkait bidang pendidikan yang selama ini ditengarai menjadi salah satu penghalang peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini.
Tetapi, selama ini yang menjadi kendala juga adalah pola menjaga hati dan diri yang ternyata masih belum dapat maksimal dari para guru, terutama yang merasa pendidikannya sudah tinggi, ternyata pola kehidupannya tidak berbeda dengan anak-anak yang masih mencari jati dirinya!
Beberapa orang bahkan jelas-jelas begitu narsisnya ingin menonjolkan dirinya sebagai orang-orang intelek padahal pada kenyataannya sama sekali tidak menunjukkan keintelektualitasnya, Justru menunjukkan secara jelas sebagai orang-orang yang tidak terkontrol nafsunya sebagai manusia tak berpendidikan!
Apakah seperti ini yang diharapkan?
Pendidikan memang diarahkan mencapai peningkatan kualitas dengan memberikan batasan bagi guru minimal sarjana (S-1) bahkan sejak gru TK sudah harus S-1. Tetapi, hal tersbeut sama sekali tidak dibarengi dengan persyaratan kometensi normatif yang bagus, sehingga banyak guru yang pongah dan sama sekali tidak mencerminkan sebagai pendidik.
BAgaimana jika hal seperti ini terjadi?
Apakah benar efektivitas persyaratan guru strata 1 atau Sarjana itu?
Selasa, 29 Juli 2008
Pelajaran Terbaik
Seperti yang terjadi di Tembelang, sebuah Kota Kecamatan di Jombang, yang beberapa hari ini menjadi topik utama dalam setiap pembicaraan, baik di surat kabar maupun di televisi, apalagi di radio. Wah, pokoknya tiada hari tanpa membahas tentang Ryan.
INilah pendidikan dan pemelajaran terbaik bagi semuanya, bahwa pergaulan harusnya sangat kita seleksi dan benar-benar diantisipasi terhadap segala hal negatif yang pasti terjadi diantara kita. Tidak ada salahnya kita bergaul, tetapi setidaknya kita harus mengetahui hal-hal yang harus dan hal-hal yang tidak harus, bahkan yang dilarang oleh segala macam hukum kehidupan
POla pergaulan yang sedemikian bebas di antara anak-anak kita atau dis ekitar kita sangat emmungkinkan untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang selanjutnya berpotensi untuk terjadinya hal-hal tidak diinginkan.
Dan, biasanya kita hanya dapat mengeluh dan menyesal di kemudian harinya!
Duh, kalau saja penyesalan ada di depan, sebelum kita melakukan kegiatan, tentunya semua hidup secara damai!
Sabtu, 26 Juli 2008
Anak-anak Kita Kehilangan Kesempatan Belajar
Bagaimana tidak!?
Saat itu, aku ada keperluan ke kantor dinas untuk mengumpulkan berkas-berkas penting terkait dengan kenaikan pangkat. Saat lampu merah menghadangku di perempatan empunala-gajah mada itu, aku benar-benar tidak habis pikir.
Disaat itu, beberapa orang anak-seusia sekolah- ternyata begitu tenang berlalu lalang diantara kendaraan yang berhenti menunggu lampu berubah hijau.
Mereka langsung menadahkan tangan ke semua pengendara yang terhenti disitu.
Duh, ternyata mereka meminta-minta di jalan, di perempatan jalan tersebut, padahal aku yakin sekali mereka itu semua masih dalam usia sekolah dan sekarang masih jam sekolah!
Kutanya salah satu dari mereka, tetapi tidak menjawab, malah semakin menjauh dariku!
Duh, rasanya aku pingin sekali mempunyai sebuah wadah bagi mereka sehingga mempunyai waktu untuk belajar bersama mempersiapkan masa depan lebih baik, setidaknya meningkatkan kualitas diri mereka.
Saat aku panggil lagi anak tersebut, dia tidak kearahku tetapi justru semakin menjauhiku dan lampu mereha berubah menjadi hijau, maka akupun melaju, meninggalkan galau di dalam hati. Kapan negeri ini berkembang jika anak bangsanya menjadi peminta-minta?
Jumat, 25 Juli 2008
Sertifikasi untuk mengukur kelayakan guru sebagai tenaga profesional
SEkolah kejuruan memberikan proses pemelajaran berbasis teknologi yang sedang dan akan diterapkan di dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga untuk hal tersebut dibutuhkan orang-orang yang selalu siap menghadapi dan seklaigus menjawab tantangan yang selalu datang dan menghadang setiap langkah kehidupan. Kejuruan atau lebih tepatnya teknologi di dalam kehidupan kita adalah sesuatu yang sangat dinamis, sedinamis kehidupan ini sendiri.
Ada seorang tokoh mengatakan bahwa kehidupan adalah perbuatan. Apalah artinya hidup jika sama sekali tidak melakukan perbuatan sesuai dengan bidang yang ditanganinya? Begitu juga di dalam proses pendidikan, apalah artinya peran sebagai guru jika ternyata hanya omong saja?! banyak omong sedikit kerja. no action talk only! justru seharusnya seorang guru adalah less talk, do more!
Sementara ini, kita melihat kenyataan bahwa banyak guru kita yang hanya menang teori, pintar ngomong tetapi sama sekali tidak terlihat kegatannya yang menunjukkan eksistensi dirinya sebagai kaum intelek. Bahkan, sungguh sangat memalukan terlalu banyak guru yang untuk melengkapi persyaratan uji sertifikasi profesinya ternyata harus melakukan upaya rekayasa terhadap berkas atau portofolio yang hendak dinilai sebagai persyaratannya.
Berbagai cara dilakukan untuk dapat memenuhi persyaratan untuk mengikuti proses sertifikasi tersebut, tetapi sangat tidak mengenankan hati. Guru yang bertugas untuk membimbing anak para sikap dan pola hidup positif ternyata memberikan contoh negatif pada masyarakat luas.
Jika saja semua guru menyadari bahwa proses ujia sertifikasi ini merupakan upaya untuk mengukur kelayakannya sebagai guru yang sesuai dengan tuntutan keprofesionalitasan, maka hal tersebut tidak bakal terjadi. Masalahnya hanya karena para guru kadung keblinger dengan iming-iming akan mendapatkan tambahan gaji satu kali lipat sehingga terjadi penyimpangan seperti ini! Hal ini-pun seharusnya menjadi tanggungjawab para pembuat kebijakan, mengapa kebiajakan tersebut harus dikaitkan dengan hasil tersebut, seharusnya jika memang tujuannya untuk mengukur dan menentukan kelayakan seseorang menajdi guru yang profesional, tentunya tidak perlu dikaitkan dengan iming-iming segala. Akibatnya banyak guru yang tujuan mengikuti sertifikasi adalah untuk meraih iming-iming dan bukan untuk kelayakan profesi!
Ach. sebenarnya siapa yang salah?!
Selasa, 22 Juli 2008
Pendidikan butuh kebersamaan
Ketika menyaksikan betapa bersemangat anak-anak mengikuti proses pemelajaran, maka tumbuh kepercayaan did alam hati bahwa dengan material seperti ini, maka kemungkinan tercapainya tujuan pemelajaran menjadi semakin besar. Jangankan patokan 5,50, lebih saja kiranya dapat dicapai!
Setelah melihat kondisi seperti ini, maka selanjutnya yang perlu diantisipasi adalah sikap dan respon masyarakat terhadap kondisi ini. Jangan sampai kejadian selama ini terulang lagi, yaitu keacuhan masyarakat terhadap anak-anak yang melalaikan tugas belajar dan kongkow di pinggir jalan atau di tempat-tempat umum. Masyarakat seharusnya ikut peduli dengan secara bersama-sama membiasakan anak-anak berada di sekolah dan tidak ngabur dari sekolah/
Demikian juga halnya dengan aparat ketertiban yang ada di daerah, rasanya tidak ada masalah jika setiap saat dilakukan razia untuk anak-anak yang ngabur dari jam belajar. Ada banyak pihak yang seharusnya secara sadar ikut menangani hal seperti ini, tidak secara utuh menyerahkan pada sekolah sebab tidak mungkin sekolah memantau anak-anak hingga keluar lingkungan sekolah atau di masyarakat.
Rabu, 16 Juli 2008
Budaya Konvoi Dan Coret-Coret, Untuk Apa?
Duh, senang sekali hati saat mengetahui telah lulus dalam mengikuti ujian nasional. Rasanya segala beban yang menghimpit hati sirna begitu saja. Bongkahan bebatuan yang sejak persiapan, pelaksanaan danpasca ujian nasional terdepak oleh kabar kelulusan yang dapat diperoleh dari sekolah atau dari internet.
Dan, setiap kemenangan memang pantas untuk dirayakan. Keberhasilan atau kelulusan adalah sebuah kemenangan melawan sekian banyak soal ujian, maka sudah selayaknya jika dirayakan sebagai ungkapan kegembiraan dan kebahagiaan.
Tetapi, permasalahan timbul saat kita melihat model perayaan kegembiraan yang diungkapkan oleh anak-anak kita. Mereka seakan bukan anak-anak kita yang kemarin begitu manis saat kita berada di ruang kelas mereka dan menjelaskan materi pelajaran yan menjadi jatah belajar mereka.
Tiba-tiba saja mereka telah berganti tampilan sangat berlainan dengan kesehariannya. Mereka telah menjadi orang lain.
Wajah manis, imut-imut, pola berpakaian yang rapi dan bagus, semua telah hilang! Bahkan sopan santun yang selama ini tlah kita tanamkan selama mereka belajar sejak kelas satu hingga kelas tiga sudah hilang!
Yang muncul adalah sikap yang amburadul. Model rambut yang awut-awutan, baju yang penuh coret-coret, tanda tangan, bahkan wajah dan rambutnya tidak lepas dari semprotan cat dengan warna warni yang semarak. Baju yang sebenarnya masih bagus, tiba-tiba saja telah menjadi baju penuh semprotan cat dan torehan tinta spidol dengan berbagai macam tulisan atau tanda tangan
Mereka begitu gembira. Mereka bersemangat. Bahkan sepeda motor, mereka berkonvoi keliling
Suara ‘geberan’ gas dan sikap mereka pada saat mengendarai motor sungguh sangat ‘nggegirisi’, menakutkan dan mengkawatirkan bagi keselamatan diri sendiri ataupun keselamatan orang lain.
Dan, seringkali kegiatan ini ternyata memakan korban dari mereka juga. Berapa banyak mereka yang termakan oleh ‘keberanian’ mereka ‘beraksi’ di jalan raya untuk mengungkapkan kegembiraan karena lulus.
Tapi masalahnya adalah signifikansi model perayaan seperti itu dengan budaya bangsa ini. Apakah hal ini menggambarkan terjadinya pergeseran nilai pola kehidupan bangsa ini? Bukankah yang melakukan ‘atraksi’ ini adalah kaum muda, generasi muda yang notabenenya adalah calon pemimpin masa depan negeri ini! Jika para calon pemimpin seperti ini, lantas bagaimana pola hidup generasi muda di masa depan?! Bagaimana kehidupan bangsa ini dimasa depan?!
Masih ada yang positif!
Ya. Dari kegiatan peryaaan kelulusan yang hinggar bingar di jalan raya oleh suara knalpot yang dipasang tanpa sarangan, ternyata masih ada yang bertindak positif.
Patut diacungi jempol! Dua jempol dari dua tangan. Tindakan positif tersebut adalah tekad mewariskan baju seragam untuk yang memerlukan, yaitu adik-adik kelas atau orang-orang yang memang sangat membutuhkan seragam sekolah tersebut.
Pada kenyataannya, masih terlalu banyak anak yang berkekurangan, termasuk pakaian seragam. Jika saja pakaian yang masih layak pakai dikumpulkan dan diberikan kepada yang membutuhkan, maka itu jauh lebih bermanfaat daripada dicoret-coret sekedar sebagai kenangan tetapi selanjutnya pakaian tersebut tidai dapat dipakai lagi!
Bukankah di sekolah ada organisasi yang ditangani siswa, untuk siswa, yaitu OSIS? Seharusnya pada saat ini, OSIS bertindak cepat dan proaktif untuk mengumpulkan seragam kelas III yang sudah tidak terpakai lagi. Selanjutnya seragam yang terkumpul dibagikan lagi kepada anak-anak yang membutuhkan seragam.
Sudah saatnya kita mengaktifkan dan memberi kesempatan pengurus OSIS untuk melakukan kegiatan amal ini. Ya, ini adalah kegiatan amal yang diselenggarakan oleh OSIS terhadap anak kelas III yang hendak meninggalkan sekolah.
Tentunya, jika hal ini dilakuakn secara sistenatis dan terorganisir, maka tidak perlu ada kegiatan coret-coret yang hanya menjadikan pakaian layak pakai tersebut terbuang sia-sia.
Jika semua anak menyadari betapa pentingnya seragam yang mereka coret-coret bagi orang lain, maka kesulitan yang dihadapi beberapa orang anak dapat diatasi dan ketertiban seragam dapat dicapai.
Memperhatikan dua hal tersebut, maka setidaknya kita menyadari bahwa seharusnya kegiatan konvoi ataupun coret-coret seragam tidak perlu dilakukan oleh mereka yang lulus. Lebih baik bersujud syukur dan menyumbangkan seragam untuk teman teman atau adik kelas yang membutuhkannya.
Hal inilah yang seringkali dilupakan bahkan diabaikan oleh banyak anak. Mereka tenggelam dalam suka cinta yang begitu menggelegak di permukaan hidup. Memang, seringkali saat suka cita datang menghampiri hidup kita, maka pada saat itu kita jadi lupa pada banyak hal, termasuk dalam hal ini adalah rasa kesetiakawanan dan interaksi sosial positif!
Untuk itu, yang kita perlukan adalah keseragaman langkah dari akar rumput hingga pucuk dedaunan agar secara aktif menyampaikan saran-saran positif bagi anak didik agar tidak melakukan hal-hal yang tidak berguna dan membahayakan keselamatan diri sendiri, apalagi orang lain.
Guru harus mampu mengembangkan kontrol naluri dirinya
Di dalam proses pembelajaran, seorang guru memegangkendali utuh dalam memberikan arahan, bimbingan, dan pendampingan anak dalam proses mem-persiapkan diri menuju masa depan yang lebih baik dari kondisi sekarang. Dengan demikian, maka seorang guru dituntut untuk mempunyai kesiapan yang matang sehingga proses pembimbingan dan pendampingan yang dilakukannya benar-benar efektif dan efisien. Tanpa kemampuan yang cukup, tentunya orangtua menjadi ragu menyerahkan proses pembelajaran anak-anaknya kepada sang guru.
Guru haruslah mempunyai tingkat kematangan emosi yang sudah mapan sehingga setiap saat mampu meghadapi permasalahan dan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan baik. Hal ini menunjukkan tingkat kecerdasaan seorang guru dalam pola pemikiran kreatif, inovatif dan selalu tanggap terhadap kondisi kehidupan masyarakat. Dalam kondisi yang lainnya, seorang guru harus selalu tanggap terhadap setiap perubahan paradigma yang terjadi dalam ke-hidupan masyarakat dan langsung menentukan langkah efektif untuk meng-hadapi permasalahan tersebut. Kemampuan ini selanjutnya kita sebut sebagai kontrol naluri seorang guru.
Kontrol naluri diartikan secara bebas sebagai suatu keadaan yang dimiliki oleh seorang guru dalam menanggapi setiap kondisi yang timbul di dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya. Guru harus mempunyai kemampuan untuk melakukan langkah-langkah prediksi ataupun langkah-langkah penyelesaian masalah yang mungkin muncul di dalam proses pembelajarannya. Guru harus mampu memprediksi sekaligus mengambil solusi yang tepat dalam menyelesai-kan setiap permasalahan yang timbul di dalam proses pembelajaran yang dipandunya. Bahkan jika diperlukan seorang guru harus mempunyai kemam-puan mengembangkan proteksi diri di dalam diri anak-anak didiknya sehingga secara otomatis anak mempunyai kesanggupan untuk membentengi diri ter-hadap setiap permasalahan hidup. sama seperti antivirus yang kita pasang di sirkuit computer kita dengan kemampuan up grade sendiri secara otomatis!
Selanjutnya kontrol naluri ini dapat kita katakan sebagai responsibilitas seorang guru terhadap setiap fenomena yang muncul dalam kegiatan pembelajarannya. Daya tanggap seorang guru terhadap setiap peristiwa yang mungkin timbul ataupun yang sudah timbul di dalam proses pembelajarannya. Dan, selanjutnya diikuti oleh langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikan setiap permasalahan secara efektif dan efisien. Bagaimana seorang guru dapat menganalisa setiap kejadian yang ada di dalam proses pembelajaranya, khususnya berkaitan dengan eksistensi anak didik dalam menggapai tujuan pembelajarannya. Dengan kemampuan tersebut, maka seorang guru mampu memprediksi setiap permasalahan yang bakal timbul pada saat mempelajari konsep materi pembelajaran dan selanjutnya memyusun konsep-konsep baru untuk proses pengayaan bagi peningkatan kemampuan anak didik.
Guru harus segera mengembangkan kontrol naluri ini sehingga secara cepat dapat melakukan langkah-langkah konkrit dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang tumbuh dalam kegiatannya. Dalam hal ini, kontrol naluri juga mengandung pengertian tingkat kepedulian guru terhadap lingkungannya, termasuk dalam hal ini adalah lingkungan anak didiknya. Seberapa besar tingkat kepedulian seorang guru terhadap lingkungannya, menunjukkan seberapa tinggi tingkat kontrol naluri guru terhadap lingkungannya. Tentu saja, kita me-ngatakan bahwa guru yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungannya adalah guru-guru yang mempunyai kontrol naluri yang bagus.sedangkan guru-guru yang tidak mempunyai atau sulit melakukan prediksi terhadap kondisi kehidupan di sekitarnya, khususnya berkaitan dengan proses pembelajaran, maka mereka kita kelompokkan pada guru dengan tingkat control dirinya rendah. Dan, jika ternyata kondisi tersebut kita alami, maka sudah seharusnya kita secara intens mengembangkan diri agar control diri kita berkembang secara maksimal dan selanjutnya dipakai untu mengembnagkan berbagai kerasi dan inovasi pembelajaran agar anak didik memperoleh pengetahaun, keterampilan dan transfer attitude yang maksimal. Dan, hal itulah yang terpenting bagi prosespembelajaran efektif.
Menyadari hal tersebut, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi se-orang guru untuk secara intens berusaha mengembangkan diri menuju pengu-asaan kontrol naluri yang bagus tersebut. Setidaknya jika seorang guru mempunyai tingkat pengontrolan naluri yang bagus, maka segala permasalahan dapat segera diselesaikan tanpa harus menunggu masalah tersebut berkembang dan mengancam kondisi. Oleh karena itulah, maka seorang guru harus belajar memperhatikan setiap kondisi anak didik, mengenal secara mendalam kondisi anak didik yang meliputi segala hal yang berhubungan dengan anak didik, misalnya sikap hidupnya, latar belakang keluarganya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan anak didik dalam kehidupannya. Hal ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan sebab semua itu dapat secara langsung diamati guru dalam pola interaksi edukasi yang dilakukan sehari-hari.
Kontrol naluri merupakan sikap cepat tanggap seseorang terhadap setiap indikasi ataupun fenomena yang terjadi di dalam kehidupan yang ada di se-kelilingnya. Dengan kontrol naluri ini, maka seseorang mempunyai kepedulian yang cukup tinggi terhadap kondisi lingkungannya. Kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan, khususnya terhadap anak didik inilah yang sesungguhnya merupakan faktor penting untuk dapat memposisikan anak didik selalu hadir secara utuh di dalam proses pembelajaran. Jika anak didik merasa diperhatikan secara intens, maka sebagai responnya mereka-pun akan memberikan perhatian terhadap semua kegiatan yang dilakukan guru. Mereka pasti merasa perlu memperhatikan semua kegiatan yang dilakukan guru dan selanjutnya memberikan kontribusi yang baik bagi kegiatan tersebut. Bagaimanapun kita harus menyadari bahwa anak didik kita adalah pribadi-pribadi yang masih membutuhkan perhatian sangat tinggi sebab kondisi kejiwaannya yang masih labil, dalam arti masih mudah terombang-ambing oleh pengaruh kehidupan di sekitarnya sehingga seringkali melakukan kesalahan dalam memilih konsep kehidupan bagi dirinya. Oleh karena itulah, maka diperlukan guru yang mempunyai control naluri terhadap kondisi anak didiknya secara baik.
Jika guru mempunyai kontrol naluri yang bagus, maka apapun yang dilakukan anak didik dapat segera diketahui oleh guru dan selanjutnya segear ditangani. Dengan kondisi seperti ini, maka setiap permasalahan segera ter-selesaikan sebelum masalah tersebut berkepanjangan. Setidaknya guru telah mempunyai bekal untuk dapat memahami kondisi kejiwaan anak didik pada saat menempuh pembelajaran kependidikan. Bekal ilmu kejiwaan yang diterima guru pada saat menempuh pendidikan keguruan merupakan sesuatu yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang diampunya. Oleh karena itulah, sebagai seorang guru sangat perlu memahami konsep-konsep kejiwaan, khususnya berkaitan dengan anak didik. Dengan pemahaman konsep kejiwaan, maka setidaknya seorang guru dapat memprediksi setiap kondisi yang di-hadapinya di kelas. Hal ini merupakan kemampuan mendasar yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru agar proses pembelajaran yang diampunya dapat berjalan maksimal. Sementara maksimalitas proses tergantung pada maksimali-tas keterikutan anak didik didalam proses pembelajaran. Jika anak didik maksimal dalam mengikuti proses pembelajaran, tentunya proses pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pembelajaran yang disusun oleh guru dalam program pembelajarannya. Tetapi, jika anak didik tidak mengikuti proses pembelajaran secara maksimal, tentunya hal tersebut tidak berarti apa-apa.
Sebenarnya, didalam sebuah proses pembelajaran, peranan guru sedemi-kian rupa sehingga sudah seharusnya mengetahui secara detail kondisi anak-anaknya. Setiap saat guru berinteraksi dengan anak didik, baik dalam interaksi di kelas maupun di sekolah secara umum. Setiap saat mereka berkomunikasi dan bergaul sehingga sudah barang tentu kondisi pergaulan guru dan anak didik sedemikian rupa sehingga diketahui sifat-sifat khusus pada setiap anak didik, jika guru benar-benar memperhatikan kondisi anak didiknya, setidaknya sebagian besar sikap dan sifat anak didik diketahui oleh guru, apalagi untuk anak-anak dengan sikap dan sifat-sifat khusus, misalnya kenakalannya tinggi atau kepandaianya diatas rata-rata. Mereka adalah kelompok anak-anak yang gampang sekali dikenali oleh guru. Dalam hal ini ada tiga kelompok anak yang mudah sekali dikenali oleh guru, yaitu anak yang pandai, anak yang tidak pandai atau bodoh, dan anak yang nakal. Umumnya guru segera respon jika melihat anak-anak yang termasuk dalam kelompok tersebut. Hampir semua guru mengenal anak-anak yang termasuk dalam kelompok tersebut. Anak yang nakal dikenal karena kondisi negatif yang diciptakannya dalam interaksi edukatif di sekolah. Anak pandai dan anak bodoh juga demikian, sebab kedua kelompok anak ini berkaitan dengan prestasi akademik sehingga semua guru mengenal mereka. Sedangkan, yang tersulit adalah memperhatikan kelompok anak-anak yang berada di tengah-tengah kelompok tersebut atau kelompok anak-anak dengan kondisi sedang-sedang saja, pandai tidak, bodoh juga tidak, nakal tidak, menurut juga tidak. Hal ini sungguh sangat merepotkan bagi guru untuk mengklasifikasikannya apalagi untuk menghafal satu persatu dari mereka.
Pentingnya obyektifitas dalam proses sertifikasi guru
Latar Belakang
Bangsa yang besar adalah bangsa yang anak bangsanya mempunyai kualitas diri tinggi serta mampu mengaktualisasikan kemampuan tersebut di dalam proses kehidupan nyata sehingga benar-benar bermanfaat bagi ke-hidupan masyarakatnya, maupun masyarakat dunia. Dan, kualitas anak bangsa ditentukan oleh kualitas proses pembelajaran dan pendidikan yang diterapkan oleh seluruh elemen, khususnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Untuk hal tersebut, maka seyogyanya pembenahan proses pendidikan perlu dilakukan sesegera mungkin sehingga bangsa yang ‘besar’ jumlah penduduknya ini benar-benar menjadi bangsa yang besar dalam arti pergaulan dengan bangsa lainnya di dunia.
Sementara untuk dapat meningkatkan kualitas diri anak bangsanya, maka langkah nyata yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas hasil proses pendidikan. Pendidikan merupakan pintu gerbang menuju ladang kualitas diri. Seseorang yang berpendidikan secara langsung adalah orang-orang yang berkualitas dan pada umumnya mereka mempunyai akses yang cukup besar dalam emmasuki setiap peintu gerbang keberhasilan dalam kehidupannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang harus mendapatkan perhatian adalah peran pengelola dan penyelenggara pendidikan, khususnya guru. Guru harus benar-benar adalah sosok-sosok yang kompeten pada bidangnya. Guru yang bertugas sebagai fasilitator pendidikan haruslah orang-orang yang mempunyai kualitas diri tinggi, jika kita meginginkan hasil proses pendidikan dan pembelajaran yang maksimal.
Peningkatan kualitas para guru memang merupakan pekerjan rumah yang selama ini belum dapat dituntaskan penangananya. Program-program yang diarahkan untuk guru selama ini belum sampai pada peningkatan kualitas personil, diri guru, melainkan hanya sampai pada aspek pengelolaan sarana prasarana pembelajaran saja.
Oleh karena itulah, sudah saatnya kita memfokuskan pemikiran pada program peningkatan kualitas guru. Kualitas guru haruslah diperhatikan sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap upaya untuk mneingkatkan kualitas pembelajaran dan pada akhirnya hal tersebut merambat pada pening-katan kualitas pendidikan, sesuai dengan program yang sudah dicanangkan oleh semuanya.
Guru sebagai sosok yang secara langsung berhubungan dengan anak didik memegang peranan penting di dalam mengkondisikan anak didik sebagaimana tujuan pendidikan. Hal ini merupakan tugas yang sangat berat sebab harus melakukan rekonstruksi terhadap kondisi yang ada pada anak didik. Guru harus melakukan perubahan kemampuan dan kemauan yang dimiliki oleh anak didik sehingga sinergis dengan tujuan proses pendidikan, padahal anak adalah sosok tersendiri yang mempunyai pola pemikiran, kreasi, kemampuan dan kemauan yang berbeda. Guru harus dapat menjadi ‘virus’ yang dapat mempengaruhi anak didik agar mengikuti program yang diinginkan oleh proses pendidikan dan pembelajaran.
Dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru, maka setidaknya anak didik mengalami transformasi bahkan metamorphose kondisi dirinya. Dan, sesungguhnya transformasi dan metamorphose itulah yang kita inginkan dari proses pendidikan. Tujuan utama dari proses pendidikan tidak lain adalah melakukan perubahan mendasar pada kompetensi yang dimiliki oleh anak didik sehingg sesuai dengan tujuan hidup secara luas.
Untuk dapat merealisasi kondisi tersebut, maka yang diperlukan adalah kepastian kondisi para guru sebagai pendidik dan pengajar. Guru haruslah dapat diketahui secara pasti tingkat kemampuannya di dalam mengelola proses pembelajaran dan tingkat keberhasilannya dalam mengelola proses pembelajar-an. Dan, sertifikasi guru memang merupakan jawaban atas program pening-katan kualitas sumber daya manusia dalam dunia pendidikan.
Sertifikasi adalah untuk menentukan kelayakan seseorang sebagai guru
Guru adalah sosok yang seharusnya dapat digugu dan ditiru. Guru itu panutan bagi semua orang, khususnya para anak didik yang diasuhnya. Setiap apa yang dikatakan oleh guru seharusnya sesuatu yang dapat digugu, dapat dipercaya sehingga anak didik mengalami transformasi yang benar. demikian juga halnya dengan segala yang dilakukan guru seharusnya adalah segala yang dapat ditiru dan diterapkan oleh anak didik dalam pola kehidupan nyata. Hal ini bercermin pada satu kenyataan bahwa anak didik berada pada masa mencari jati diri. Anak didik masih berusaha untuk menempatkan diri sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Oleh karena itulah, maka mnejadi tugas guru untuk memberikan contoh, teladan tentang hal-hal yang perlu dilakukan anak didik agar tidak mengalami kesulitan saat berada di dalam lingkungan masyarakat.
Tugas guru di dalam proses pembelajaran memang cukup luas, tidak sekedar memberikan materi pelajaran melainkan secara umum dan utuh guru harus dapat memfasilitasikan kebutuhan anak didik atas berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap hidup positif yang terpakai dalam kehidupannya. Tuntutan ini tentu saja memaksa guru untuk secara aktif meningkatkan kemampuan yang dimilikinya agar anak didiknya tidak mengalami kegagapan saat harus menghadapi kehidupan. Dan, untuk mempersiapkan kemampuan tersebut, maka harus mengembangkan potensi profesi secara signifikan sehingga benar-benar siap.
Secara umum, guru memang haruslah dikondisikan sedemikian rupa sehingga kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan bidang yang dikerjakan.
Pada saat sekarang ini, fenomena program sertifikasi guru menjadi bahan pembicaraan yang terjadi dimana-mana, khususnya di lingungan dunia pen-didikan. Program sertifikasi seakan sebuah bius yang memaksa setiap orang merasa harus berkomentar terhadapnya sehingga benar-benar menjadi bagian tidak terpisah dari semua orang, khususnya para guru.
Sertifikasi guru memang sangat penting dan sudah saatnya diberlakukan sehingga kita dapat melihat peta kualitas hasil proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh setiap sekolah. Dengan mengetahui guru-guru yang sudah bersertifikat, maka setidaknya kita dapat memantau secara pasti kegiatan efektif yang dilakukan oleh guru sehingga dapat diketahui layak ataukah tidak sese-orang menjadi guru. Kelayakan seseorang di dalam melaksanakan tugas sebagai guru pada akhirnya membawa proses pendidikan dan pembelajaran yang benar-benar mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan.
Pada saat seorang guru mengikuti proses sertifikasi, maka pada saat tersebut mereka harus berjuang untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Sertifikasi sebenarnya dijalani dengan mengikuti proses evaluasi terhadap segala hal yang dilakukan pada proses pembelajaran, baik yang sudah dilaksanakan maupun yang hendak dilaksanakan di waktu-waktu mendatang. Jika kita melihat program kerja seorang guru, maka sebenarnya setiap program yang disusun diarahkan untuk mengkondisikan kegiatan pada tingkat pencapaian kualitas tertinggi. Dan, sertifikasi memang lebih mnenekankan untuk menge-tahui secara jelas kualitas seseorang pada saat memegang pekerjaan sebagai guru.
Sertifikasi membutuhkan obyektifitas proses
Obyektivitas merupakan prasyarat tercapainya sebuah kondisi ideal yang di-inginkan oleh setiap orang maupun organisasi. Hal ini berkait dengan kenyataan bahwa dengan obyektivitas yang tinggi, maka segala yang hal terjadi dapat segera diketahui dan selanjutnya dilakukan langkah-langkah pencegahan serta jika belum terjadi atau penyelesaian jika sudah terjadi.
Demikian juga halnya dalam proses sertifikasi guru, seharusnya hal utama yang diterapkan agar program ini benar-benar sesuai dengan konsep dasarnya adalah menerapkan obyektivitas tinggi. Obyektivitas ini tertutama kita perlukan untuk menghindari adanya ‘permainan’ lama, yaitu upaya merekayasa proses sehingga program sertifikasi akhirnya hanyalah sebuah formalitas untuk menaikan pangkat dan golongan semata, sebagaimana penerapan angka kredit yang harus mengajukan banyak berkas yang berhubungan dengan proses pembelajaran yang ‘sudah’ dilakukannya pada saat-saat terdahulu.
Kita harus memahami konsep dasar dan tujuan penerapan program sertifikasi bagi guru yaitu meningkatkan kualitas proses dan hasil proses pen-didikan di negeri ini, walau kemudian hal tesebut diembel-embeli dengan janji akan didapatkannya tunjangan profesi bagi guru-guru yang dinyatakan lulus dalam proses sertifikasi. Dengan adanya embel-embel tersebut, maka ber-bondong - bondonglah guru mendaftarkan diri untuk mengikuti proses sertifikasi. Berbagai cara ditempuh untuk dapat mengikuti proses sertifikasi tersebut. Apalagi yang sudah terjaring pada ketentuan mengikuti proses sertifi-kasi tersebut. Mereka berusaha sekuat tenaga dan semampu ‘dana’ yang dimiliki utuk dapat melengkapi berkas yang dibutuhkan dalam sertifikasi.
Sekali lagi kita perlu memahami bahwa konsep dasar penyelenggaraan sertifikasi guru adalah untuk memposisikan guru pada tingkat kualifikasi yang sesuai dengan pekerjaan utamanya. Kita ingin mengetahui kelayakan seorang guru berkaitan dengan kualitas diri dalam pelaksanaan proses pembelajaran sebab hanya dengan guru yang berkualitas saja, dunia pendidikan kita dapat terentas dari keterpurukannya selama ini. Bahwa munculnya program sertifikasi tidak lain adalah untuk menjawab masalah keterpurukan dunia pendidikan yang selama ini sungguh sangat merisihkan kita.
Seharusnya, jika kita ingin meningkatkan kualitas proses pembelajaran atau pendidikan, maka yang perlu diperhatikan adalah sumber daya manusia yang berperan dalam proses tersebut. Sebagaimana sebuah perusahaan, jika yang mengelola, yang berperan mempunyai tingkat kualitas diri yang tinggi, maka tentunya tingkat produktivitas perusahaan dapat maksimal. Dunia pen-didikan tidak berbeda dengan perusahaan sebab ada produk yang dihasilkan oleh dunia pendidikan, yaitu para lulusan yang berkualitas atau tidak.
Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, maka proses rekrutmen seharusnya dilakukan secara teliti dan obyektif, tidak sekedar per-syaratan semata. Setiap guru yang mengajukan diri untuk mengikuti proses sertifikasi seharusnya mendapatkan perlakukan atau evaluasi secara obyektif dan tidak memberikan kesempatan pada subyektivitas agar dapat diketahui secara pasti tingkat kualitas yang dipersyaratakan untuk mendapatkan sertifikat kelayakan menjadi guru.
Salah satu syarat yang dijadikan sebagai indikator proses sertifikasi adalah pengumpulan berkas yang dinamakan porto folio, yaitu berkas rekaman kegiatan yang dilakukan oleh guru bersangkutan selama melaksanakan tugas-nya. Porto folio yang harus dikumpulkan oleh guru peserta sertifikasi adalah berbagai rekaman kegiatan yang menunjukkan kemampuannya dalam me-nyelengarakan proses pembelajaran, misalnya program pembelajaran, beberapa sertifikat terkait, dan berkas yang berupa bukti unsur pengembangan profesi yang berupa karya tulis yang sudah dipublikasikan, karya penelitian, atau buku yang diterbitkan. Dari pengumpulan berkas inilah yang seringkali menjadi kesempatan untuk menyusun strategi dengan menerbitkan berkas-berkas yang mungkin pada proses pembelajaran sebenarnya belum sempat dikerjakan, program pembelajaran yang belum disusun, pada saat ini dilakukan kerja cepat mutu tinggi dengan membuat secara kilat berkas yang diperlukan. Dari berkeas-berkas yang dikumpulkan kemudian disesuaikan dengan persyaratan yang dituntut dalam proses sertifikasi, jika ternyata ada berkas yang tidak dimiliki atau nilai kredit yang didapatkan dari berkas-berkas tersebut masih kurang memenuhi persyaratan, maka langkah ‘penyesuaian’ segera dilakukan agar mendapatkan nilai sesuai ketentuan dan lulus!
Semua berkas yang dikumpulkan oleh guru diserahkan kepada tim penilai untuk dievaluasi apakah sudah memenuhi syarat kelayakan men-dapatkan sertifikat sebagai guru. Disinilah masalah obyektivitas perlu diawasi secara teliti sehingga hasil penilaian yang diberikan benar-benar sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dan bukan sekedar hasil rekayasa untuk dapat me-luluskan guru bersangkutan. Jika hal ini benar-benar kita lakukan, maka tujuan untuk menyeleseksi guru atas kualitas dirinya sesuai dengan tugasnya dapat dicapai sesuai tujuan. Tetapi jika ternyata pada proses ini tetap saja terjadi perekayasaan data, maka sampai kapanpun upaya peningkatan kualitas dunia pendidikan di negeri ini tidak bakal tercapai.
Obyektivitas di dalam proses sertifikasi sangat diharapkan dapat di-terapkan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas keinginan untuk meng-angkat keterpurukan dunia pendidikan di negeri ini. Bagaimana mungkin kita dapat mencapai tujuan meningkatkan kualitas hasil proses pendidikan dan pembelajaran jika ternyata untuk proses sertifikasi guru saja ternyata tidak dijamin obyektivitasnya. Kita menyadari bahwa sebenarnya di dalam hati kita masing-masing mempunyai keinginan yang sama, yaitu ingin mengangkat derajat dunia pendidikan di negeri ini. Kita berkeinginan agar dunia pendidikan di negeri ini mendapatkan perhatian sebagaimana pernah dialami pada tahun-tahun terdahulu, yaitu sekitar tahun tujuh puluhan.
Semua memang memerlukan kebersamaan seluruh elemen terkait untuk mencapai target program. Oleh karena itulah, senyampang program ini masih hangat, maka kita tetapkan hati untuk benar-benar melaksanakan program seideal mungkin walau kita menyadari bahwa untuk menuju kondisi ideal memang merupakan program yang sangat berat. Ideal itu hanya ada di dalam pemikiran, sedangkan di dalam kenyataan semua serba mungkin untuk tidak terlaksana. Sekarang semua terserah pada kita untuk mengarahkan langkah kaki pada tujuan pengembangan dan peningkatan kualitas dunia pendidikan agar didapatkan kualitas dunia pendidikan yang dapat diperhitungkan oleh masya-rakat internasional. Tidak mungkin selamanya kita hanya menjadi juru kunci pada peringkatan kualitas pendidikan. Sudah saatnya kita memutuskan untuk mengambil alih posisi, setidaknya meningkatkan ranking keberhasilan dalam penyelenggaraan proses pendidikan.
Memberdayakan Guru menghadapi KTSP
KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan sebuah perangkat pembelajaran yang disusun dan dilaksanakan oleh setiap tingkat satuan pen-didikan. Proses penyusunan kurikulum ini merupakan sebuah keistimewaan tersendiri jika dibandingkan dengan pengalaman kurikulum - kurikulum ter-dahulu. Penulis mengatakan bahwa kurikulum ini istimewa sebab dalam hal ini guru menyusun kurikulum dan melaksanakannya dalam kegiatan pembelajaran-nya. Dengan demikian setidaknya proses pembelajaran yang direncanakan merupakan hasil kreasi dan kerja guru sejak perencanaan awal, penentuan materi pemelajaran, tata urutannya, sistem penerapannya, sistem penilaiannya, tindak lanjut dari proses pembelajaran, dan langkah-langkah penanganan jika anak didik mengalami kesulitan pada akhir masa penerapan materi pemelajaran. Inilah keistimewaan yang terkandung di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang sekarang ini hendak diterapkan, yaitu mulai tahun pelajaran 2007/2008. Kita dapat menentukan materi yang kita berikan kepada anak didik dan mensinergiskan dengan kebutuhan masyarakat.
KTSP memang merupakan sebuah rancangan program kegiatan pembelajaran yang lebih diarahkan pada penguasaan kompetensi atau kemampuan anak didik terhadap aspek-aspek tertentu berkaitan dengan kondisi yang diharapkan oleh masyarakat secara umum. Dengan KTSP ini, maka setidaknya seorang guru mempunyai keleluasan untuk memberikan materi pemelajaran dengan kom-petensi tinggi dan sesuai dengan hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar sekolah atau lingkungan hidup anak didik. Kita tidak perlu bermuluk-muluk memberikan sesuatu yang ternyata tidak mungkin diterapkan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itulah, maka di dalam proses penyusunan kurikulum ini, tingkat kompetensi yang hendak dicapai dari hasil proses pembelajaran diarahkan untuk pencapaian pada tingkatan tertentu, misalnya secara lokal, regional, nasional, atau bahkan secara internasional. Guru sebagai penyusun isi kurikulum mempunyai kewenangan atau otonomi yang luas untuk menentukan seberapa tingkat kompetensi yang harus dicapai oleh anak didik agar dikatakan telah berhasil menyelesaikan proses pembelajaran dengan meng-gunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan ini.
KTSP ini memang jika kita telaah lebih mendalam merupakan upaya untuk mengembalikan kewenangan atau otonomi guru untuk merencanakan proses pembelajaran yang hendak dilaksanakannya. Guru mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan segala potensi dirinya sehingga konsep profesionali-sasi profesi benar-benar dapat terwujudkan dalam kondisi seperti ini. Bagaimana –pun seorang guru memang sudah seharusnya mempunyai kesempatan untuk menunjukkan segala potensi yang ada di dalam dirinya, termasuk dalam hal ini adalah kemampuan untuk menyusun perencanaan pembelajaran.
Selama ini, diakui atau tidak kita para guru telah dibuat mandul dengan patron kurikulum yang sudah ada secara nasional. Selama ini kita hanya copy paste saja semua aspek yang harus ada di dalam kurikulum. Kita adalah kaum replikan yang dengan begitu saja menerima segala sesuatu yang sudah jadi dan selanjut-nya dijadikan sebagai dasar pekerjaan. tentunya kita dapat membayangkan apa yang bakal terjadi jika kondisi seperti ini terus diterapkan, sementara para guru sama sekali tidak ikut dalam proses penyusunan materi kurikulum dan lagi isi kurikuum tersebut adalah bersifat dan berskala nasional sehingga seringkali berbeda dengan yang dibutuhkan di masyarakat sekitar sekolah atau lingkungan di sekitar sekolah. Hal ini jelas-jelas menjadi guru hanya sebagai user dari sebuah produk dan harus menerapkan produk tersebut di dalam kegiatan hidupnya, walaupun tanpa keterlibatannya pada saat merencanakan dan menyusunnya, sehingga dengan demikian para guru harus memelajari kurikulum tersebut terlebih dahulu dan setelah memahami konsep-konsepnya, maka baru dapat menerapkan dalam ekgiatan pembelajaran yang nyata. Semenytara karena pada awalnya tidak ikut merencanakan dan menyusun, maka yang terjadi adalah seringnya terjadi kesalahan persepsi terhadap aspek yang ada di dalam kuri-kulum. Kondisi ini menjadikan para guru mandul sebab tidak kreatif.
Untuk dapat mengikuti dan selanjutnya menyusun serta melaksanakan kuri-kulum jenis ini, memang diperlukan guru-guru yang penuh kreativitas dan inovasi yang tinggi. Disamping itu, kita juga membutuhkan guru-guru yang benar-benar mengabdi bagi kelangsungan pelaksanaan proses pendidikan. Hal ini sangat penting sebab, jika memang benar-benar menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan, maka guru harus benar-benar proaktif dalam mempersiapkan segala kelengkapan pembelajarannya, dari awal hingga akhir-nya.
Tentu saja dalam hal ini kita masih tetap membutuhkan out line atas aspek-aspek pemelajaran yang perlu diberikan kepada anak didik yang disinergiskan dengan berbagai kondisi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Langkah ini sangat penting agar tujuan perencanaan dan penyusunan kurikulum ter-capai. Out line inilah yang dijadikan sebagai dasar perencanaan dan penyusunan materi kurikulum, tentu saja dalam hal ini out line harus disesuaikan terlebih dulu dengan kondisi lingkungan. Jika ada out line nasional atau copy paste yang tidak sesuai dengan kondisi, maka perlu disesuaikan sehingga benar-benar men-jamin keterlaksanaan kurikulumnya.
Kurikulum implementatif
Guru mendasarkan proses perencanaan dan penyusunan kurikulum berdasar-kan kondisi di lingkungan, oleh karena itulah, maka guru perlu melakukan survey lapangan atau pengamatan yang mendalam terdapat kondisi lingkungan yang perlu dimasukkan di dalam kurikulum pemelajaran di tingkat satuan pen-didikan, dimana mereka bekerja. Survey lapangan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara sehingga benar-benar didapatkan informasi yang Sebenarnya, kurikulum ini sudah diterapkan sejak lama di proses pemelajaran sekolah menengah kejuruan (SMK) yang disebut sebagai kurikulum implementatif. Kurikulum ini disusun oleh guru bekerja sama dengan dunia industri atau dunia usaha sebagai institusi pasangan dari sekolah menengah kejuruan. Dalam hal ini sebenarnya kurikulum jenis ini bukan lagi barang baru bagi guru-guru di SMK sebab selama ini mereka sudah menyusun jenis kurikulum tersendiri yang merupakan bentuk kerja sama antara sekolah dengan dunia industri maupun dunia usaha.
Diakui atau tidak sebenarnya sejak lama selalu terjadi bahwa kurikulum yang diterapkan di dalam proses pemelajaran di sekolah menengah kejuruan (SMK) merupakan cikal bakal dari kurikulum-kurikulum yan selanjutnya diterapkan. Jauh sebelum ditetapkan bahwa sekolah-sekolah harus menerapkan kurikulum berbasis kompetensi, maka sekolah menengah kejuruan sudah menerapkannya, sebab anak didiknya memang dituntut untuk mempunyai kemampuan atau kompetensi. Penerapan kurikulum yang berbasis kompetensi memang sudah harus diterapkan sebab anak didik pada proses pemelajaran selain diberikan pemelajaran mata diklat adaptif dan normatif, juga diberikan mata pelajaran produktif. Disinilah yang memungkinkan sekolah menengah kejuruan lebih dahulu menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Begitu juga ketika di-canangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan, dimana diharapkan adanya sikap proaktif dari semua guru untuk merencanakan dan menyusun konsep kurikulum yan dipergunakan di tingkat satuan pendidikan dimana mereka ber-tugas. Ternyata, jenis kurikulum inipun sudah lebih dulu diterapkan di sekolah menengah kejuruan
Pada dasarnya, kurikulum implementatif yang diterapkan di sekolah menengah kejuruan merupakan hasil kreasi guru yang disinergiskan dengan dunia usaha dan dunia industri. Di dalam aspek-aspek materi pemelajaran yang hendak diberikan kepada anak didik dalam kurikulum implementatif merupakan hasil sharing antara sekolah (guru) dengan dunia usaha/industri. Mereka merencana-kan materi pemelajaran yang diberikan kepada anak didik dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat. Sekolah/guru berkonsultasi dengan dunia usaha/ industri mengenai segala hal yang pada umumnya diperlukan oleh dunia usaha /dunia industri. Kebersamaan inilah yang memungkinak sekolah menengah kejuruan mempunyai kesempatan terlebih dahulu dalam menerapkan jenis kurikulum yang memberikan kesempatan seluasnya pada para gurunya untuk mengembangkan potensi dirinya dalam merencanakan dan menyusun kuri-kulum yang implementatif dengan kegiatan dalam kehidupan nyata.
Dan, sekarang pemerintah mencanangkan jenis kurikulum yang memberikan keluasan kepada guru untuk merencanakan dan menyusunnya sendiri dengan penyesuaian terhadap konsep-konsep kehidupan. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep dasar pada saat merencanakan dan menyusun kurikulum implementtatif di sekolah menengah kejuruan (SMK). Oleh karena itulah, maka seharusnya guru-guru yang mengajar di SMK menghadapi kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai sesuatu yang sudah biasa sehingga tidaklah sulit untuk menyusunnya.
Memberdayakan guru
Sebenarnya jika kita mempelajari konsep dasar dari pencanangan kurikulum tingkat satuan pendidikan, dimana dalam hal ini peran serta guru sangat diharapkan dan menjadi tolok ukur dari keterlaksanaan penerapannya, maka melihat adanya satu langkah terbaik yang dilakukan oleh pemerintah. Langkah terbaik tersebut adalah adanya upaya untuk memberikan kembali wilayah otonomi guru yang selama ini telah dirampas oleh pusat sehingga di lapangan guru hanyalah pelaksana dan bukan perancang, perencana dan perumus pemelajarannya. Guru bukanlah subyek pelaku, melainkan sekedar obyek yang diposisikan sebagai pelaksana.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan memungkinkan guru mengembangkan diri secara maksimal sebab di dalam konsep kurikulum ini, guru diharuskan merencanakan dan menyusun kurikulum yang nantinya dijadikan sebagai kerangka dasar pemelajarannya. Dengan langkah seperti ini, maka program pemerintah untuk sertifikasi dan profesionalisasi dapat diwujudkan dengan benar. Dengan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan ini, maka guru dipaksa untuk memposisikan diri sebagai subyek pengelola proses pendidikan secara utuh. Guru harus dapat mengembangkan potensi dirinya untuk menunjukkan profesionalismenya.
KTSP memang memposisikan guru sebagai subyek pengelola proses pem-belajaran sehingga guru harus dapat merencanakan, menyusun dan menerapkan kerangka pemelajarannya. Dengan demikian, maka upaya peningkatkan kualitas guru dapat tercapai dan selanjutnya hal tersebut mampu membawa kualitas anak didik. Bagaimana-pun, seorang guru harus dapat merencanakan, menyu-sun dan selanjutnya menerapkan konsep-konsep pemelajaran yang ada dalam kerangka kurikulumnya. Jika guru dapat melaksanakan semua langkah tersebut, perencanaan, penyusunan dan penerapannya, maka berarti guru sudah men-capai kompetensi yang memadai sebagai seorang guru. Tentu saja dalam hal ini, perlu diberikan evaluasi yang melekat sehingga KTSP yang disusun benar-benar merupakan hasil pengembangan diri sang guru, dan bukan sekedar copy paste dari KTSP milik orang lain atau master KTSP dari pusat.